Minggu, 24 Februari 2013

Catatan Perjalanan dan Secercah Inspirasi dari Ibukota




P
erjalanan yang cukup mendadak (bahkan sangat mendadak) di hari sabtu itu pun dimulai. Tak seperti biasa yang ikut berpartisipasi dalam perjalanan kali ini hanya berdua saja, yaitu saya (penulis) dan ceceu. Malam sebelum berangkat kami sudah jarkom ke beberapa teman bahwa satubumikita akan mengadakan kegiatan jalan-jalan hemat alias backpacker ke ibukota, sembari berencana akan berkunjung dan bermalam ke Gubug Komunitas IPPA (Ikatan Peduli Pendidikan Anak) Rawamalang, yang berada di daerah Cilincing, Jakarta Utara. 






Pagi itu kami berdua sudah duduk menunggu kereta yang akan datang di Stasiun Kiaracondong Bandung. Sesuai rencana, hari itu kami akan menggunakan kereta patas ekonomi menuju Jakarta via  Purwakarta. Kereta yang kami tumpangi adalah kereta api lokal Cibatuan jurusan Stasiun Cibatu (Garut) – Stasiun Purwakarta. Karena rencana kami jalan-jalan hemat, saya mencoba menggunakan alternatif transportasi  yang mudah dan sangat hemat serta tentunya yang mengasyikan sepanjang perjalanan. Dan pilihan jatuh pada kereta Cibatuan. Tiketnya pun cukup terjangkau Rp.3.500/orang. Tiket sudah di tangan, jam di stasiun pun telah menunjukkan angka 08:00, kereta yang dinanti-nanti akhirnya datang tepat waktu pukul 08:02 dan kontan saja kami berdua dan puluhan penumpang lainnya bergegas masuk ke dalam gerbong. Kami mencoba mencari posisi yang ideal untuk menikmati perjalanan, karena jalur menuju Purwakarta pemandangannya cukup bagus maka kami memilih duduk sebelah kaca.  


Tak lama kereta pun melaju meninggalkan Stasiun Kiaracondong. Beberapa menit kemudian, kereta ekonomi murah meriah ini kembali berhenti di Stasiun Cikudapateuh, Kosambi untuk mengangkut penumpang. Sesaat kemudian kembali kereta melaju dengan lambat. Tiba di Stasiun Bandung ternyata kereta mengalami kerusakan entahlah apa yang rusak sehingga menyebabkan kereta mogok/berhenti di Stasiun Bandung sangat lama, terhitung sekitar 1,5 jam. Kereta yang seharusnya telah berangkat dari Stasiun Bandung pukul 08:21 molor menjadi pukul 10:00. Ya, kita mungkin harus sedikit maklum karena ongkosnya pun murah meriah.  Tapi fasilitas di dalam gerbong patut diacungi jempol . Semisal dipasangnya sekitar 3 pendingin ruangan (AC) di dalam satu gerbong, serta penumpang dipastikan tidak over capacity karena kuota penumpang dibatasi, sehingga jarang ada penumpang yang berdiri atau tidak kebagian tempat duduk.


Setelah menunggu cukup lama, kereta kembali melaju ke arah barat dengan kecepatan yang masih lambat melewati dan berhenti di beberapa stasiun-stasiun kecil. Seusai melewati Stasiun Padalarang, pemandangan alam yang dilintasi kereta semakin menarik. Puncakan-puncakan serta gugusan bukit hijau cukup menghibur saya yang tadi cukup kesal dengan mogoknya kereta. Selain itu beberapa kali kereta melintasi jembatan-jembatan perlintasan nan gagah yang dibawahnya terdapat sawah, jurang atau sungai. Entahlah, apakah jalur kereta yang kami gunakan ini jalur lama buatan Belanda atau jalur baru, yang pasti jalurnya cukup direkomendasikan untuk perjalanan “wisata kereta” yang tetap murah meriah dan seru. Yang cukup menarik pula yaitu, bangunan stasiun-stasiun kecil yang disinggahi sepanjang perjalanan kebanyakan berlanggam art deco, yang bisa jadi mencirikan dibangun (mungkin) pada saat zaman kolonial Belanda. 

Selain cukup nyaman dengan dipasangnya AC, pedagang asongan dan musisi jalanan pun tidak terlalu kelihatan beraktifitas atau hilir mudik menjajakan dagangan serta jasa suaranya, bahkan bisa dibilang jumlahnya sangat sedikit dibanding kereta KRD ekonomi Padalarang-Cicalengka (PP) yang cukup ramai seperti di pasar.


Sebelum memasuki wilayah Purwakarta, pemandangan hamparan sawah yang hijau cukup kontras dengan jalan tol Cipulrang yang mengular di atasnya. Pemandangan alam yang menurut saya cukup menarik adalah Gunung Parang yang menjulang angkuh di kelilingi bukit kecil lain disekelilingnya. Gunung Parang yang sepertinya lebih cocok di sebut bukit tersebut adalah bukit batu tegak yang sering dipakai penggiat kegiatan alam untuk dijajal, terlebih yang menyukai olah raga panjat tebing, karena bentuknya yang tegak lurus dan sepertinya sangat menantang. Ehmm, sepertinya Gunung parang akan menjadi salah satu incaran objek yang harus satubumikita kunjungi nanti.

Untuk menuju Gunung Parang dengan kereta Cibatuan, mungkin bisa cukup menghemat biaya dan mengasyikan, kita bisa turun di Stasiun Plered atau Purwakarta untuk selanjutnya dilanjutkan menggunakan angkutan umum (angkot atau ojeg) menuju Base Camp  di kampung sekitar kaki Gunung Parang. Selain Gunung Parang, lamat-lamat di kejauhan terlihat pula Waduk Jatiluhur yang bisa menjadi salah satu objek wisata bila berkunjung ke Purwakarta. 

***

Setelah menempuh waktu berkereta sekitar 4 jam lebih, kami pun akhirnya sampai di Stasiun Purwakarta sekitar pukul 12:10. Rencana awal akan melanjutkan perjalanan menuju Stasiun Jakarta Kota menggunakan kereta patas ekonomi pupus sudah. Kereta patas ekonomi tujuan Jakarta Kota ternyata telah berangkat sekitar 5 menit yang lalu sebelum kereta Cibatuan datang. Hal itu memang sudah kami duga karena kereta Cibatuan yang mogok tadi 1,5 jam di Bandung. Di Stasiun Purwakarta yang bangunannya seperti peninggalan zaman Belanda tersebut telah cukup ramai oleh penumpang kereta yang baru datang dari Bandung (dan Garut), dan sepertinya kebanyakan dari mereka bertujuan menuju Jakarta, jadilah kita senasib tak kebagian kereta.  Di depan Stasiun terdapat patung tokoh pewayangan (mungkin Gatot Kaca) yang gagah berdiri berdiri membelakangi stasiun. Selain itu para supir angkot beragam jurusan sudah ngetem dan menunggu para calon penumpang.

Rencana awal berkereta menuju Jakarta pun gagal, tapi the journey must go on. Kami pun meneruskan perjalanan ini menggunakan angkot menuju gerbang tol Cikopo, Purwakarta untuk selanjutnya menggunakan bis ekonomi menuju Lebak Bulus Jakarta dengan mengeluarkan kocek Rp.10.000. Dari perjalanan menuju Purwakarta tadi, pengalaman kami bisa jadi sedikit bertambah, mungkin agak sedkit ribet dan berputar-putar jalur yang kami lalui tapi itu bisa menjadi sangat mengasyikan. Dan tentunya lebih banyak tempat yang kami kunjungi. 

***

Perjalanan dalam menggunakan bis dari Purwakarta tidak begitu menarik dan cukup membosankan, selain diganggu asap rokok yang mengepul, juga pemandangan dalam tol yang monoton berupa mobil dan truk-truk serta container yang melaju kencang. Sekitar pukul 14:00, kami pun sampai di Terminal Lebak Bulus yang cukup semrawut, setelah sejenak istirahat dan sembahyang dzuhur perjalanan dalam belantara ibukota yang angkuh dimulai. Objek pertama yang akan kami kunjungi adalah Kawasan Kota Tua. Sebenarnya bila kami tadi jadi menggunakan kereta dari Purwakarta kami akan turun di Stasiun Kota dan selanjutnya hanya perlu menyebrang menuju kota tua, berbeda bila menggunakan bis yang harus sedikit berputar di dalam kota menggunakan transjakarta. Tapi ya sudahlah.

Sore menggelayut dan hari mulai gelap, kota tua yang sedang kami singgahi semakin ramai oleh para manusia yang entah itu sedang bersepeda, berkesenian, berkarya, berniaga, berpacaran, atau hanya iseng-iseng saja berkunjung melihat dan merasakan sedikit sisa kejayaan Oud Batavia seperti kami ini. Tak terasa gelap malam mulai datang, kami berdua ditambah gustaf sang rekan yang mengadu nasib di ibukota mencoba menikmati suasana lain kota tua di tepian sungai Ciliwung. Mencoba sedikit menerawang ke masa yang lalu saat gedong-gedong tersebut masih digunakan oleh para konglomerat eropa, pun saat Batavia masih dijuluki “Ratu dari timur” yang cantik dengan kanal-kanal yang mengalir di antara gedong-gedong yang beberapa diantaranya masih bertahan dari jaman J.P Coen hingga Jokowi.



Jakarta, ibukota negara ini yang padat dan seperti yang kita ketahui banyak masalah akut yang bisa dianalogikan mencapai stadium 4, seperti problematika kemacetan yang menyebalkan, banjir yang senantiasa membayangi kala turunnya air dari langit, kebakaran di kawasan padat penduduk, tawuran antar orang bodoh, kesenjangan sosial yang sangat kentara dan kriminalitas yang kompleks.  Tapi seburuk-buruknya citra yang melekat pada sebuah kota seperti Jakarta, bisa jadi masih banyak hal-hal inspiratif yang bisa di dapat, seperti dari dari para penghuninya. 

***

Seting perjalanan kembali beralih. Seusai sedikit menjadi turis lokal atau kabayan saba kota tua, kami bertiga bergegas meluncur menuju Gubug IPPA di bilangan Rawamalang, Cilincing di utara Jakarta. Sebutan gubug yaitu untuk sebuah rumah mungil 2 tingkat di sisi sungai sebagai tempat berkumpul dan belajar komunitas IPPA tersebut. Tak terasa malam mulai menggelayut gelap, angka di jam menunjukan 22:15. Sesampainya kami di sana, satu persatu para penghuni cilik gubug mulai berdatangan, serta disusul sesepuh dari gubug IPPA yaitu mba Ibet yang baru pulang dari tahlilan ibu Ainun di rumah pak Habibie bersama beberapa anak perempuan. Tak lama berselang Juned yang berbalut batik baru pulang dari menerima award berupa Hero 2013 dari acara Kick Andy disambut oleh para anak-anak, hebat dan salut. Entahlah sepertinya suatu kebetulan yang baik buat kami bisa menyaksikan kebahagaian dan mungkin kebanggaan dari para anak-anak terlebih sang kakak mendapat apresiasi dan penghargaan dari pihak luar atas kegiatannya di gubug IPPA. 


Sekompleks apapun masalah sebuah kota seperti Jakarta dan situasinya yang kadang atau bahkan sering membuat masyarakatnya menjadi manusia – manusia individualis. Tapi tetap saja ada bahkan mungkin banyak secercah sinar seperti sebuah kunang-kunang di kegelapan dari individu-individu tak terlihat di sudut-sudut kota yang mencoba menyingkabkan ketidakpedulian akan lingkungan masyarakat sekitar, seperti pemberdayaan pendidikan alternatif. Gubug IPPA mungkin setitik kecil dari para individu-individu yang menjadi kolektif dan terbentuklah sebuah komunitas  kreatif pengembangan alternatif pendidikan anak-anak selain pendidikan formal di sekolah. Dengan agenda yang cukup terkonsep, anak-anak diarahkan untuk mengembangkan minat serta bakatnya. 


Mungkin itulah yang sedikit bisa saya tangkap dari Gubug IPPA seusai kali keduanya saya berkunjung. Walaupun tak banyak aktifitas belajar yang kami lakukan bersama, ya karena mungkin memang waktunya selalu tak cocok dengan jadwal agenda rutin Gubug. Selamat buat gubug IPPA. Sampai jumpa. Terima kasih. (opik/satubumikita)***

16 – 17 Februari 2013

Tags; inspirasi dari jakarta, betawi, gubuk ippa rawamalang, mba ibet, juned, kick andy heroes, cilincing, anak marjinal, satubumikita,

3 komentar :

  1. harus lbh banyak lg pemuda yg menginspirasi lingkungan sktar, dan dimulai dr hal2 yg sederhana.

    BalasHapus
  2. Yupps.. Dimulai dari hal kecil untuk menjadi besar :)

    BalasHapus
  3. wow dapet kick andy heroes 2013

    BalasHapus

Silahkan berkomentar, menyanggah, bertanya ataupun ingin berkorespondensi.



Terima kasih

ANDA PENGUNJUNG KE-

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...