Seorang tokoh atau sosok, baik
itu yang dikenal luas ataupun terbatas, bisa jadi merupakan sumber inspirasi bagi banyak orang. Seperti inspirasi dari hasil karya, tindakan, sifat atau apa
yang telah dia perjuangkan. Maka dari itu satubumikita mencoba untuk mengapresiasi
para tokoh tersebut dengan mencoba sedikit menuliskan kisah hidupnya, yang
mungkin sedikit banyak bisa menjadi inspirasi positif dan pelajaran untuk kita
sebagai generasi muda.
Soe Hok Gie |
Setelah sebelumnya satubumikita
membahas F.W Junghuhn. Seperti judul yang tertera di atas, satubumikita mencoba
membahas sosok Soe Hok Gie, seorang aktivis mahasiswa yang selain suka menulis
juga seorang pendaki. Tanggal 17 Desember 1942 adalah dimana Gie dilahirkan di kota Jakarta. Meninggal
dunia sehari sebelum berumur 27 tahun tepatnya pada tanggal 16 Desember 1969 di
puncak mahameru bersama rekannya Idhan
Dhanvantari Lubis (20 tahun) karena menghirup gas beracun. Gie pernah menulis
dalam buku hariannya yang mengutip seorang filsuf Yunani, “nasib terbaik adalah
tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah
umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda”. Memang
begitu adanya sosok pemuda kita yang satu ini, Gie mungkin berbahagia mati muda
daripada sial berumur sampai tua.
Gie menempuh pendidikannya di Universitas Indonesia Fakultas sejarah
(FSUI) pada tahun 1962–1969. Gie sendiri
sering digambarkan sebagai seorang pemuda yang berpendirian teguh dalam
memegang prinsipnya dan juga rajin menulis perjalanan hidupnya dalam buku
harian. Selain itu pemuda lajang yang sempat pacaran dengan beberapa gadis
manis FSUI, juga kutu buku, macan mimbar diskusi, kambing gunung, tukang nonton
film, juga penggemar berat folk song dengan badan kurus nyaris kerempeng. Buku hariannya kemudian
diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983) yang cukup
terkenal dikalangan para demonstran saat orde baru. Sosok perjalanan hidup Gie
dalam catatan hariannya pun sempat di tuangkan kedalam karya film bioskop pada
tahun 2005, dengan judul Gie, sutradaranya Riri Riza dan Nicholas saputra
berperan sebagai Soe Hok Gie.
Gie sendiri adalah anak keempat
dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Gie selain
rajin mencatat buku harian juga dikenal sebagai penulis produktif di beberapa
media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia,
dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari
seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan
dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
Gie juga menulis skripsi sarjana
mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, yang pada tahun 1999 diterbitkan
Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi
S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan
dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).
Sebagai bagian dari aktivitas
gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa
Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di
Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.
***
“Ngapain
lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan
menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan
ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung,
kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat,
pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru,
sekali-kali menjadi orang tertinggi di Pulau Jawa. Masa cuma Soeharto saja
orang tertinggi di Pulau Jawa ini. (Soe Hok Gie)
Sejak dari Jakarta Gie yang disering diejek “cina kecil’ itu sudah merencanakan akan memperingati hari ulang tahunnya yang ke-27 di Puncak Gunung Semeru (Mahameru). Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember sebelum musibah terjadi, dalam tenda sempit di tepi hutan Cemoro Kandang, Gie yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu-lagu tertentu, meminta teman-temanya menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody Knows, sampai berulang-ulang. Idhan yang pendiam, cuma duduk tertawa-tawa, sambil mengaduk-aduk rebusan mi hangat campur telur dan kornet kalengan. Malam dingin dan hujan itu, mereka bertujuh banyak bercerita, termasuk mendengarkan rencana Soe yang mau berulang tahun di puncak gunung.
Di pagi hari yang naas itu, sebelum berkemas untuk persiapan
pendakian ke puncak, mereka sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana
pendek, kini memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia
mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung.
Rombongan pun berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru
dari dataran di kaki Gunung Bajangan. Gie sebagaimana biasanya, selalu
memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita dan
komentar. Ia mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih banyak harimau
karena dia menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut kalau Cemoro Kandang
berlumpur arang gara-gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai pertanda
seleksi alam dan proses regenerasi tanaman hutan.
Gie terus nyerocos kepada salah seorang teman
seperjalannya yang sekaligus mahasiswanya, asal muasal nama recopodo (Arcopodo)
alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang berkaitan dengan nasib
Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa. Namun sang mahasiswa juga membayangkan
dengan geli, betapa kagetnya wakil DPR-RI saat itu ketika menerima bingkisan
dari kelompok Soe berisi gincu dan cermin sebagai perlambang fungsi anggota DPR
yang banci.
Memang
pendakian ke Semeru itu merupakan proyek kebanggaan Mapala FSUI (Fakultas
Sejarah Universotas Indonesia) 1969. Soe dengan keandalannya melobi kiri-kanan,
mampu mengumpulkan dana untuk subsidi penuh beberapa rekan yang mahasiswa bokek
sejati.
Musibah yang menimpa Gie mungkin tidak terbayangkan
serta betapa kematiannya bersama Idhan Lubis bikin repot setengah mati banyak
orang terlebih teman-teman seperjalannya. Terbaring kesepian di dalam peti
jenazah masing-masing. Gie yang mati muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan
panjang putih lengkap dengan dasi hitam. Jenis barang yang tidak mungkin
dipakai semasa hidupnya.
Sebelum musibah Semeru itu sempat berujar: “Kehidupan
sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang
dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan
kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau
berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita
ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
Soe Hok Gie, Saat berada di puncak Gunung Pangrango |
***
John Maxwell yang menyusun disertasinya, Soe Hok Gie – A Biography of A Young Indonesia Intellectual (Australian National University, 1997), menjabarkan betapa banyaknya komentar penting terhadap kematian Soe Hok Gie. Harian Indonesia Raya yang masa itu sedang gencar-gencarnya mengupas kasus korupsi Pertamina-nya Ibnu Sutowo, memuat tulisan moratorium tentang Soe secara serial selama tiga hari.
Mingguan Bandung Mahasiswa Indonesia, mempersembahkan
editorial khusus:
"…Tanpa menuntut agar semua insan menjadi seorang Soe Hok-gie, kita hanya bisa
berharap bahwa pemuda ini dapat menjadi model seorang pejuang tanpa pamrih …
kita membutuhkan orang seperti dia, sebagai lonceng peringatan yang bisa
menegur kita manakala kita melakukan kesalahan."
Di luar negeri, berita kematian Gie sempat diucapkan
Duta Besar RI Soedjatmoko, di dalam pertemuan The Asia Society in New York,
sebagai berikut:
“… Saya ingin menyampaikan penghormatan pada kenangan Soe Hok-gie, salah
seorang intelektual yang paling dinamis dan menjanjikan dari generasi muda
pasca kemerdekaan …. Komitmennya yang mutlak untuk modernisasi demokrasi,
kejujurannya, kepercayaan dirinya yang teguh dalam perjuangan … bagi saya ia
memberikan suatu ilustrasi tentang adanya kemungkinan suatu tipe baru orang
Indonesia, yang benar-benar asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang
telah disampaikannya kepada kita, dalam hidupnya yang singkat itu...”
Kepada Ben Anderson, pakar politik Indonesia yang juga
kawan lengket Gie, dalam salah satu surat terakhirnya, Gie menulis,“… Saya merasa semua yang tertulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput
petasan. Dan semuanya ingin saya isi dengan bom!”
Dari cuplikan berbagai tulisan Gie, terasa sekali
sikap dan pandangannya yang khas. Misalnya, Soe pernah menulis begini: “Saya mimpi tentang sebuah dunia, di mana ulama – buruh – dan pemuda, bangkit
dan berkata – stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan atas nama apa pun.
Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun. Dan
melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang
lebih baik.”
Khusus soal mahasiswa, menjelang lulus sebagai
sejarawan, 13 Mei 1969, Soe sempat menulis artikel Mimpi-Mimpi Terakhir Seorang
Mahasiswa Tua. Dalam uraian tajam itu, ia menyatakan:
“… Beberapa bulan lagi saya akan pergi dari dunia mahasiswa. Saya meninggalkan
dengan hati berat dan tidak tenang. Masih terlalu banyak kaum munafik yang
berkuasa. Orang yang pura-pura suci dan mengatasnamakan Tuhan … Masih terlalu
banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas
kalau berkuasa.”
Saat dirinya masuk korps dosen FSUI, secara
blak-blakan Soe mengungkap ada dosen yang membolos 50% dari jatah jam
kuliahnya. Bahkan ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan buku. Terjemahan
mahasiswa itu dipakainya sebagai bahan pengajaran, karena sang dosen ternyata
tidak tahu berbahasa Inggris.
Masih di seputar mahasiswa, dalam nada getir, Soe
menulis: “… Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau
mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas
sampai akhir zaman oleh sementara dosen-dosen korup mereka.”
Khusus untuk wakil mahasiswa yang duduk dalam DPR
Gotong Royong, Hok Gie sengaja mengirimkan benda peranti dandan. Sebuah
sindiran supaya wakil mahasiswa itu nanti bisa tampil manis di mata pemerintah.
Padahal wakil mahasiswa itu teman-temannya sendiri yang dijuluki “politisi
berkartu mahasiswa”. Langkah Soe ini membuat mereka terperangah. Sayangnya,
momentum ini kandas. Soe Hok Gie keburu tewas tercekik gas beracun di Puncak
Mahameru.
John Maxwell dalam epilog naskah buku Mengenang
Seorang Demonstran (November 1999), menulis begini, “Saya sadar telah menulis
tentang seorang pemuda yang hidupnya berakhir tiba-tiba, dan terlalu dini
dengan masa depan yang penuh dengan kemungkinan yang begitu luas.”
Kita telah memperhatikan bagaimana Soe Hok Gie terpana
politik dan peristiwa nasional, setidak-tidaknya sejak masih remaja belasan
tahun. Namun hasratnya terhadap dunia politik, diredam oleh penilaiannya
sendiri bahwa dunia politik itu pada dasarnya lumpur kotor. Semua orang seputar
Soekarno dinilainya korup dan culas, sementara pimpinan partai dan politisi
terkemuka, tidak lebih dari penjilat dan bermental “asal bapak senang”, serta
“yes men”, atau sudah pasrah.
Pandangan ini menjadi latar belakang pembelaan Gie
akan kekuatan moral dalam politik di awal tahun 1966. Keikutsertaannya dalam
politik hanya untuk sementara. Pada pertengahan tahun yang sama, dia
menyampaikan argumentasi bahwa sudah tiba saatnya bagi mahasiswa untuk mundur
dari arena politik dan membiarkan politisi profesional bertugas, membangun
kembali institusi politik bangsa.” Demikian tulis Maxwell.
Gie memang sudah bersikap. Dia memilih mendaki gunung
daripada ikut-ikutan berpolitik praktis. Dia memilih bersikap independen dan
kritis dengan semangat bebas. Pikiran dan kritiknya tertuang begitu produktif
dalam pelbagai artikel di media cetak. Namun secara diam-diam, Gie ternyata
juga menumpahkan unek-uneknya dalam bentuk puisi indah. Salah satunya
Mandalawangi-Pangrango yang terkenal di kalangan pendaki gunung. (satubumikita)***
Semoga bermanfaat. Terima kasih.
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Soe_Hok_Gie
http://catros.wordpress.com/2007/05/02/soe-hok-gie-dan-gunung-semeru/
Foto:
Wikipedia & Google seacrh (Kaskus)
Tags; soe hok gie, cerita terakhir soe hok gie, gie, mati muda, aktivis, pendaki gunung, semeru, demonstran, catatan seorang demonstran, orde lama, mahameru, pendiri mapala ui
Soe hok gie tokoh inspirasi saya... Btw ijin share ya :)
BalasHapussilahkan..
Hapusya menginspirasi sekali
BalasHapusentah masih adakah yang tulus
mahasiswa Indonesia krisis model seperti Soe Hok Gie
banyak, tapi mungkin tidak terlihat :)
Hapus