P
|
erjalanan yang cukup mendadak
(bahkan sangat mendadak) di hari sabtu itu pun dimulai. Tak seperti biasa yang
ikut berpartisipasi dalam perjalanan kali ini hanya berdua saja, yaitu saya
(penulis) dan ceceu. Malam sebelum berangkat kami sudah jarkom ke beberapa teman bahwa satubumikita akan mengadakan
kegiatan jalan-jalan hemat alias backpacker
ke ibukota, sembari berencana akan berkunjung dan bermalam ke Gubug Komunitas IPPA
(Ikatan Peduli Pendidikan Anak) Rawamalang, yang berada di daerah Cilincing,
Jakarta Utara.
Pagi itu kami
berdua sudah duduk menunggu kereta yang akan datang di Stasiun Kiaracondong
Bandung. Sesuai rencana, hari itu kami akan menggunakan kereta patas ekonomi
menuju Jakarta via Purwakarta. Kereta
yang kami tumpangi adalah kereta api lokal Cibatuan jurusan Stasiun Cibatu
(Garut) – Stasiun Purwakarta. Karena rencana kami jalan-jalan hemat, saya
mencoba menggunakan alternatif transportasi yang mudah dan sangat hemat serta tentunya
yang mengasyikan sepanjang perjalanan. Dan pilihan jatuh pada kereta Cibatuan.
Tiketnya pun cukup terjangkau Rp.3.500/orang. Tiket sudah di tangan, jam di
stasiun pun telah menunjukkan angka 08:00, kereta yang dinanti-nanti akhirnya
datang tepat waktu pukul 08:02 dan kontan saja kami berdua dan puluhan
penumpang lainnya bergegas masuk ke dalam gerbong. Kami mencoba mencari posisi
yang ideal untuk menikmati perjalanan, karena jalur menuju Purwakarta pemandangannya
cukup bagus maka kami memilih duduk sebelah kaca.
Tak lama kereta pun
melaju meninggalkan Stasiun Kiaracondong. Beberapa menit kemudian, kereta
ekonomi murah meriah ini kembali berhenti di Stasiun Cikudapateuh, Kosambi
untuk mengangkut penumpang. Sesaat kemudian kembali kereta melaju dengan
lambat. Tiba di Stasiun Bandung ternyata kereta mengalami kerusakan entahlah
apa yang rusak sehingga menyebabkan kereta mogok/berhenti di Stasiun Bandung
sangat lama, terhitung sekitar 1,5 jam. Kereta yang seharusnya telah berangkat
dari Stasiun Bandung pukul 08:21 molor menjadi pukul 10:00. Ya, kita mungkin
harus sedikit maklum karena ongkosnya pun murah meriah. Tapi fasilitas di dalam gerbong patut diacungi
jempol . Semisal dipasangnya sekitar 3 pendingin ruangan (AC) di dalam satu
gerbong, serta penumpang dipastikan tidak over
capacity karena kuota penumpang dibatasi, sehingga jarang ada penumpang
yang berdiri atau tidak kebagian tempat duduk.
Setelah menunggu
cukup lama, kereta kembali melaju ke arah barat dengan kecepatan yang masih lambat
melewati dan berhenti di beberapa stasiun-stasiun kecil. Seusai melewati
Stasiun Padalarang, pemandangan alam yang dilintasi kereta semakin menarik.
Puncakan-puncakan serta gugusan bukit hijau cukup menghibur saya yang tadi
cukup kesal dengan mogoknya kereta. Selain itu beberapa kali kereta melintasi
jembatan-jembatan perlintasan nan gagah yang dibawahnya terdapat sawah, jurang
atau sungai. Entahlah, apakah jalur kereta yang kami gunakan ini jalur lama
buatan Belanda atau jalur baru, yang pasti jalurnya cukup direkomendasikan
untuk perjalanan “wisata kereta” yang tetap murah meriah dan seru. Yang cukup
menarik pula yaitu, bangunan stasiun-stasiun kecil yang disinggahi sepanjang
perjalanan kebanyakan berlanggam art deco, yang bisa jadi mencirikan dibangun (mungkin)
pada saat zaman kolonial Belanda.
Selain cukup nyaman
dengan dipasangnya AC, pedagang asongan dan musisi jalanan pun tidak terlalu kelihatan
beraktifitas atau hilir mudik menjajakan dagangan serta jasa suaranya, bahkan
bisa dibilang jumlahnya sangat sedikit dibanding kereta KRD ekonomi
Padalarang-Cicalengka (PP) yang cukup ramai seperti di pasar.
Sebelum memasuki
wilayah Purwakarta, pemandangan hamparan sawah yang hijau cukup kontras dengan
jalan tol Cipulrang yang mengular di atasnya. Pemandangan alam yang menurut
saya cukup menarik adalah Gunung Parang yang menjulang angkuh di kelilingi
bukit kecil lain disekelilingnya. Gunung Parang yang sepertinya lebih cocok di
sebut bukit tersebut adalah bukit batu tegak yang sering dipakai penggiat
kegiatan alam untuk dijajal, terlebih yang menyukai olah raga panjat tebing,
karena bentuknya yang tegak lurus dan sepertinya sangat menantang. Ehmm,
sepertinya Gunung parang akan menjadi salah satu incaran objek yang harus
satubumikita kunjungi nanti.
Untuk menuju Gunung
Parang dengan kereta Cibatuan, mungkin bisa cukup menghemat biaya dan
mengasyikan, kita bisa turun di Stasiun Plered atau Purwakarta untuk
selanjutnya dilanjutkan menggunakan angkutan umum (angkot atau ojeg) menuju Base Camp di kampung sekitar kaki Gunung Parang. Selain
Gunung Parang, lamat-lamat di kejauhan terlihat pula Waduk Jatiluhur yang bisa
menjadi salah satu objek wisata bila berkunjung ke Purwakarta.
***
Setelah menempuh
waktu berkereta sekitar 4 jam lebih, kami pun akhirnya sampai di Stasiun
Purwakarta sekitar pukul 12:10. Rencana awal akan melanjutkan perjalanan menuju
Stasiun Jakarta Kota menggunakan kereta patas ekonomi pupus sudah. Kereta patas
ekonomi tujuan Jakarta Kota ternyata telah berangkat sekitar 5 menit yang lalu sebelum
kereta Cibatuan datang. Hal itu memang sudah kami duga karena kereta Cibatuan
yang mogok tadi 1,5 jam di Bandung. Di Stasiun Purwakarta yang bangunannya seperti
peninggalan zaman Belanda tersebut telah cukup ramai oleh penumpang kereta yang
baru datang dari Bandung (dan Garut), dan sepertinya kebanyakan dari mereka
bertujuan menuju Jakarta, jadilah kita senasib tak kebagian kereta. Di depan Stasiun terdapat patung tokoh
pewayangan (mungkin Gatot Kaca) yang gagah berdiri berdiri membelakangi stasiun.
Selain itu para supir angkot beragam jurusan sudah ngetem dan menunggu para
calon penumpang.
Rencana awal
berkereta menuju Jakarta pun gagal, tapi the
journey must go on. Kami pun meneruskan
perjalanan ini menggunakan angkot menuju gerbang tol Cikopo, Purwakarta untuk
selanjutnya menggunakan bis ekonomi menuju Lebak Bulus Jakarta dengan
mengeluarkan kocek Rp.10.000. Dari perjalanan menuju Purwakarta tadi,
pengalaman kami bisa jadi sedikit bertambah, mungkin agak sedkit ribet dan
berputar-putar jalur yang kami lalui tapi itu bisa menjadi sangat mengasyikan.
Dan tentunya lebih banyak tempat yang kami kunjungi.
***
Perjalanan dalam menggunakan
bis dari Purwakarta tidak begitu menarik dan cukup membosankan, selain diganggu
asap rokok yang mengepul, juga pemandangan dalam tol yang monoton berupa mobil
dan truk-truk serta container yang melaju kencang. Sekitar pukul 14:00, kami
pun sampai di Terminal Lebak Bulus yang cukup semrawut, setelah sejenak
istirahat dan sembahyang dzuhur perjalanan dalam belantara ibukota yang angkuh
dimulai. Objek pertama yang akan kami kunjungi adalah Kawasan Kota Tua. Sebenarnya
bila kami tadi jadi menggunakan kereta dari Purwakarta kami akan turun di
Stasiun Kota dan selanjutnya hanya perlu menyebrang menuju kota tua, berbeda
bila menggunakan bis yang harus sedikit berputar di dalam kota menggunakan
transjakarta. Tapi ya sudahlah.
Sore menggelayut
dan hari mulai gelap, kota tua yang sedang kami singgahi semakin ramai oleh
para manusia yang entah itu sedang bersepeda, berkesenian, berkarya, berniaga,
berpacaran, atau hanya iseng-iseng saja berkunjung melihat dan merasakan sedikit
sisa kejayaan Oud Batavia seperti
kami ini. Tak terasa gelap malam mulai datang, kami berdua ditambah gustaf sang
rekan yang mengadu nasib di ibukota mencoba menikmati suasana lain kota tua di
tepian sungai Ciliwung. Mencoba sedikit menerawang ke masa yang lalu saat
gedong-gedong tersebut masih digunakan oleh para konglomerat eropa, pun saat
Batavia masih dijuluki “Ratu dari timur” yang cantik dengan kanal-kanal yang
mengalir di antara gedong-gedong yang beberapa diantaranya masih bertahan dari
jaman J.P Coen hingga Jokowi.
Jakarta, ibukota
negara ini yang padat dan seperti yang kita ketahui banyak masalah akut yang
bisa dianalogikan mencapai stadium 4, seperti problematika kemacetan yang
menyebalkan, banjir yang senantiasa membayangi kala turunnya air dari langit,
kebakaran di kawasan padat penduduk, tawuran antar orang bodoh, kesenjangan
sosial yang sangat kentara dan kriminalitas yang kompleks. Tapi seburuk-buruknya citra yang melekat pada
sebuah kota seperti Jakarta, bisa jadi masih banyak hal-hal inspiratif yang
bisa di dapat, seperti dari dari para penghuninya.
***
Seting perjalanan
kembali beralih. Seusai sedikit menjadi turis lokal atau kabayan saba kota tua,
kami bertiga bergegas meluncur menuju Gubug IPPA di bilangan Rawamalang,
Cilincing di utara Jakarta. Sebutan gubug yaitu untuk sebuah rumah mungil 2
tingkat di sisi sungai sebagai tempat berkumpul dan belajar komunitas IPPA
tersebut. Tak terasa malam mulai menggelayut gelap, angka di jam menunjukan
22:15. Sesampainya kami di sana, satu persatu para penghuni cilik gubug mulai
berdatangan, serta disusul sesepuh dari gubug IPPA yaitu mba Ibet yang baru
pulang dari tahlilan ibu Ainun di rumah pak Habibie bersama beberapa anak
perempuan. Tak lama berselang Juned yang berbalut batik baru pulang dari menerima
award berupa Hero 2013 dari acara Kick Andy disambut oleh para anak-anak, hebat
dan salut. Entahlah sepertinya suatu kebetulan yang baik buat kami bisa
menyaksikan kebahagaian dan mungkin kebanggaan dari para anak-anak terlebih sang
kakak mendapat apresiasi dan penghargaan dari pihak luar atas kegiatannya di
gubug IPPA.
Sekompleks apapun
masalah sebuah kota seperti Jakarta dan situasinya yang kadang atau bahkan
sering membuat masyarakatnya menjadi manusia – manusia individualis. Tapi tetap
saja ada bahkan mungkin banyak secercah sinar seperti sebuah kunang-kunang di
kegelapan dari individu-individu tak terlihat di sudut-sudut kota yang mencoba
menyingkabkan ketidakpedulian akan lingkungan masyarakat sekitar, seperti
pemberdayaan pendidikan alternatif. Gubug IPPA mungkin setitik kecil dari para
individu-individu yang menjadi kolektif dan terbentuklah sebuah komunitas kreatif pengembangan alternatif pendidikan
anak-anak selain pendidikan formal di sekolah. Dengan agenda yang cukup terkonsep,
anak-anak diarahkan untuk mengembangkan minat serta bakatnya.
Mungkin itulah yang
sedikit bisa saya tangkap dari Gubug IPPA seusai kali keduanya saya berkunjung.
Walaupun tak banyak aktifitas belajar yang kami lakukan bersama, ya karena mungkin
memang waktunya selalu tak cocok dengan jadwal agenda rutin Gubug. Selamat buat
gubug IPPA. Sampai jumpa. Terima kasih. (opik/satubumikita)***
16 – 17 Februari 2013
Tags; inspirasi dari jakarta, betawi, gubuk ippa rawamalang, mba ibet, juned, kick andy heroes, cilincing, anak marjinal, satubumikita,
harus lbh banyak lg pemuda yg menginspirasi lingkungan sktar, dan dimulai dr hal2 yg sederhana.
BalasHapusYupps.. Dimulai dari hal kecil untuk menjadi besar :)
BalasHapuswow dapet kick andy heroes 2013
BalasHapus