Oleh : Dya Iganov
Perjalanan ke suatu tempat, apalagi
tempat yang masih sangat minim informasi, menjadi suatu tantangan sendiri untuk
saya. Banyak kendala yang harus bisa diatasi, dimulai dari kurangnya informasi
mengenai objek tersebut, mulai dari rute yang harus ditempuh, kondisi jalan,
medan yang harus dilalui, trek menuju lokasi apakah ada atau tidak. Susahnya
mencari teman seperjalanan akibat kurangnya informasi yang dibutuhkan.
Jika sudah mendapat teman seperjalanan
pun, maka belum tentu teman tersebut nyaman dengan jenis perjalanan tanpa
kejelasan apapun ini. Belum lagi ketika berhasil sampai ke tempat tujuan,
ternyata kurang menarik (tergantung penilaian masing-masing sih). Nah, lain
lagi ceritanya kalau ternyata saking minimnya informasi, terutama mengenai rute
dan medan yang harus dilalui, seringkali perjalanan hanya akan sebatas trial and error alias coba-coba dan akhirnya gagal.
Bukan sekali dua kali saya mengalami
kegagalan untuk sampai di tempat tujuan. Beberapa lokasi akhirnya berhasil saya
datangi kembali dalam jangka waktu yang bervariasi, sebagian lagi bahkan sampai
saat ini (Januari 2017) belum sempat saya coba cari lagi. Berikut beberapa
tempat yang pernah saya coba datangi kemudian gagal dengan ceritanya.
Curug Cimarinjung |
Curug Cimarinjug dan Curug Cikanteh
Jauh sebelum nama Geopark Ciletuh
tenar seperti sekarang, saya dan beberapa teman sangat kesulitan mencari
informasi dua air terjun ini, terutama Curug Cikanteh. Sekitar awal 2012, saya
dan liam orang teman saya memutuskan untuk mendatangi sendiri Curug Cimarinjung
dan Curug Cikanteh. Sebelumnya, dua air terjun ini tidak sengaja saya temukan
di internet sekitar akhir 2011. Khusus untuk foto Curug Cikanteh, hanya
berhasil saya temukan dua foto saja milik satu akun saja tanpa ada keterangan
apapun. Berbekal hasil bertanya pada teman yang di Sukabumi yang memang kenal
betul daerahnya dan modal nekat, berangkatlah kami berenam menuju Kecamatan
Ciemas.
Rute yang kami tempuh untuk perjalanan
kali ini adalah rute yang sama dengan ke Ujunggenteng. Singkat cerita, kami
baru berhasil tiba di Kecamatan Ciemas pukul 22.00 WIB. Jalanan macet, salah
jalan, mesin mobil bermasalaha, hingga kesulitan mencari warga untuk ditanya
karena sudah malam menjadi penyebab lamanya perjalanan kami kali ini. Setiba di
Ciemas pun, sudah tidak banyak warga yang bisa kami tanyai jalan karena sudah
malam. Warga yang berhasil kami tanya pun ternyata masih asing dengan nama-nama
tempat yang saya tanyakan.
Sebut saja Puncak Darma, Curug
Cimarinjung, Curug Cikanteh, tidak ada satu warga pun yang pernah mendengar
nama-nama tersebut meskipun berada di wilayah tempat tinggalnya. Akhirnya
ketika saya menyebutkan Pantai Palangpang, barulah warga tersebut ngeh.
Perjalanan kami dari lokasi kami bertanya di Desa Tamanjaya membutuhkan waktu
sekitar dua jam. Tepat pukul 00.00 WIB kami tiba di pinggir Pantai Palangpang.
Curug Cikanteh |
Sekitar jam 03.00 WIB hujan besar,
bahkan dengan petir dan angin sangat kencang tiba-tiba turun di Ciemas. Paginya
pun, hujan deras kembali turun. Kami baru melanjutkan perjalanan sekitar pukul
09.00 WIB menuju Curug Cimarinjung. Berhubung pagi ini sangat sepi, tidak ada
warga yang bisa kami tanya, akhirnya kami hanya bisa foto-foto Curug
Cimarinjung dari kejauhan saja. Kami tidak berhasil menemukan jalan masuk
menuju Curug Cimarinjung.
Perjalanan kami lanjutkan menuju
Puncak Darma dari arah Curug Cimarinjung. Siapa sangka medan yang kami lalui
benar-benar menyulitkan kami. Satu mobil pun akhirnya harus menyerah dan
bermasalah di bagian kaki-kakinya (saya kurang paham juga). Satu mobil lagi
yang tetap jalan akhirnya harus menyerah juga karena stuck di lumpur. Melihat medan yang harus dilewati ditambah
kurangnya informasi berapa jauh lagi jarak dari lokas kami ke Puncak Darma kami
pun memutuskan untuk singgah di satu-satunya rumah penduduk di jalur ini.
Perjalanan kami harus terhenti disini
karena kerusakan mobil cukup parah. Akhirnya mobil pun terpaksa ditarik oleh
mobil lainnya. Kami pun balik kanan menuju Bandung tepat pukul 15.00 WIB tanpa
mampir kemana-mana lagi. Hujan turun dari mulai sore hingga tengah malam.
Perjalanan panjang menuju Bandung harus kami lalui dengan sangat lambat karena
satu mobil harus ditarik full sampai Bandung. Kami baru tiba di Bandung
keesokannya tepat pukul 04.00 WIB.
Satu tahun kemudian, tepatnya awal
2013, saya dan satu teman saya memutuskan untuk mencari lagi jalur lainnya
menuju Ciemas. Karena dari pertama kali saya ke Ciemas pada awal 2012 sampai
awal 2013, mulai muncul beberapa informasi mengenai jalur ke Ciemas. April 2013
saya dan satu teman saya memutuskan untuk survey jalur lain menuju Ciemas.
Survey berhasil, akhirnya pada Mei 2013, saya dan tiga orang lainnya kembali ke
Ciemas. Kali ini kami berhasil tiba di Curug Cimarinjung dan Curug Cikanteh
berkat bantuan warga setempat yang bersedia mengantar kami.
Curug Tujuh Neglasari/Curug Limbung
Akhir tahun 2012 saya dan beberapa
orang lainnya memutuskan untuk mengunjungi Curug Cibadak dan Curug Nyogong di
Kecamatan Cihurip serta Curug Tujuh Neglasari di Kecamatan Cisompet, Kabupaten
Garut. Kunjungan ke Curug Tujuh Neglasari atau oleh warga biasa disebut Curug
Limbung ini sudah yang ke-2 kalinya.
Curug Limbung |
Pada pertengahan November 2012, saya
dan beberapa orang lainnya sudah sampai di Desa Neglasari, Kecamatan Cisompet,
hanya saja cuaca kurang mendukung dan waktu kami tiba juga sudah terlalu sore.
Pada akhir Desember 2012 kali ini, Curug Limbung menjadi kunjungan di hari
kedua, setelah hari pertama berhasil sampai di Curug Cibadak. Curug Nyogong
kami lewat karena keterbatasan waktu.
Singkat cerita, pagi hari di hari
kedua jadwal kami, kami sudah tiba di sebuah warung sekaligus rumah dan tambal
ban, tepat ketika akan memasuki perkebunan teh Neglasari jika dari arah
Cikajang. Setelah ngobrol dengan bapak pemilik tambal ban yang ternyata adalah
Pak RW setempat, kami diijinkan menitipkan mobil. Pak RW juga meminta tolong
salah satu temannya untuk mengantar kami. Jalur ke Curug Limbung ini memang masih
benar-benar tidak ada informasinya. Bahkan warga setempat pun masih jarang yang
ke Curug Limbung.
Bapak Asep Garung nama warga yang
mengantar kami. Sepanjang jalan beliau cerita mengenai Curug Limbung dan
bagaimana kami bisa sampai tahu tentang jalur treking menuju Curug Limbung.
Terdapat dua jalur menuju Curug Limbung. Pertama yang langsung menuju Puncak
Gunung Limbung, yang kedua adalah yang melewati hutan dan sampai di salah satu
tingkatan Curug Limbung lainnya. Jalur yang menuju Puncak Gunung Limbung pun
terdapat percabangan ke salah satu tingkatannya. Kami memilih jalur yang
langsung menuju Puncak Gunung Limbung.
Karena kondisi medan yang sangat sulit
dan berbahaya, serta cuaca yang mulai kurang mendukung, kami memutuskan untuk
turun lagi dan mengambil jalur satunya melalui hutan. Setibanya kami di kebun
teh, tiba-tiba Bapak Asep menerima telepon penting dan harus segera pulang. Kami
pun mempersilahkan Bpk Asep untuk pulang dan tetap melanjutkan perjalanan
menuju jalur hutan.
Dengan modal parang yang dipinjami
Bpk. Asep, kami pun masuk hutan. Ternyata jalur di dalam hutan cukup banyak
percabangan dan Curug Limbung yang menjadi patokan kami menjadi tertutup
pepohonan. Sempat kami bagi-bagi orang untuk cek masing-masing percabangan.
Karena ragu, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Desa Neglasari. Sampai
sekarang (Januari 2017), saya masih belum punya kesempatan untuk mengunjungi kembali
Curug Limbung.
Curug Koja
Tujuan kami sebenarnya adalah Curug
Koja, Curug Cibakom, dan Curug Ciwatin di Kabupaten Tasikmalaya. Info yang kami
dapat mengenai tiga air terjun tersebut sudah cukup jelas, hanya tinggal kami
datangi saja. Ketiga air terjun ini letaknya berdekatan dan masih dalam satu
aliran sungai di satu desa yang sama, hanya saja rute masuknya yang berbeda.
Curug Cicalobak |
Setelah tiba di Kampung yang merupakan
jalur masuk menuju Curug Koja, kami mendapat informasi jika jalur menuju Curug
Cibakom dan Curug Koja hanya berpisah di persimpangan di dalam kebun. Rute
menuju Curug Koja merupakan yang paling jauh dan paling sulit, sehingga kami
memutuskan untuk mengunjungi Curug Cibakom karena tidak ada warga yang bisa
mengantar.
Setelah selesai dari Curug Cibakom,
kami kembali ke rumah warga tempat kami menitipkan motor. Sampai kami tiba
kembali, masih belum ada warga yang bisa mengantar kami. Hampir sebagian
bapak-bapak dan anak muda di kampung tersebut ke kebun karena sedang musim
panen buah-buahan. Biasanya, jika sedang musim panen begini bisa sampai siang
menjelang sore.
Akhirnya kami memutuskan untuk jalan
sendiri ke Curug Koja. Baru masuk kebun, jalur sudah bercabang. Karena ragu dan
sudah cukup siang, kami memutuskan untuk menunda kunjungan ke Curug Koja dan
melanjutkan ke Curug Ciwatin. Kunjungan kami ini pada 14 Februari 2015. Karena
masih penasaran, akhirnya saya dan beberapa teman kembali mengunjungi Curug
Koja pada 22 Februari 2015. Kali ini kami berhasil sampai di Curug Koja diantar
warga setempat.
Curug Cicalobak
Karena sangat penasaran dengan
postingan Grand Canyon Cianjur
Selatan yang tidak sengaja saya liat di internet, akhirnya pada 15 Mei 2014
saya dan satu teman lainnya memutuskan untuk mencari sendiri Curug Cicalobak.
Postingan di internet hanya merupakan dua foto yang sangat tidak jelas (hanya
gambar batu di tepi jurang) serta informasi rute yang sama sekali tidak ada.
Perjalanan kali ini adalah mencari jalur menuju Curug Cicalobak.
Koordinat desa tujuan sebenarnya sudah
ada, tapi berubung saya belum terbiasa menggunakan Gmaps, jadi begitu tiba di
Desa Rawagede kami kebingungan memilih jalur ketika bertemu percabangan. Kam
sempat bertanya pada warga yang kami temui, dan kami disarankan melewati jalur
bawah (masuk dari persimpangan sebelum Kecamatan Cibinong). Kami pun putar
arah.
Jalur Menuju Curug Cicalobak |
Jalur yang kami lalui belum apa-apa
sudah disuguhi aspal hancur di tengah kebun karet. Tidak lama kami sampai di
sebuah desa, hujan sangat deras turun. Karena tujuan kami masih sangat jauh,
kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Tidak jauh dari tempat kami
berhenti, kami bertemu kembali dengan pertigaan cukup besar. Setelah mendapat
informasi jalur yang menuju tujuan,kami pun berangkat lagi di tengah guyuran
hujan deras.
Kondisi jalan yang kami lalui mulai
berubah menjadi makadam. Patokan kami adalah Kecamatan Leles. Setiba di
Kecamatan Leles, ternyata ban motor teman saya kemps dan bannya tubles. Cukup
susah juga mencari tambal ban, apalagi yg tubles. Setelah hampir setengahnya
kami kembali ke jalur awal, kami menemukan tambal ban. Sayangnya, ketika itu
listrik sedang mati, jadi tidak bisa menambal ban. Akhirnya kami menunggu cukup
lama.
Setelah listrik menyala sekitar satu
jam kemudian dan urusan ban selesai, kami jalan lagi. Ternyata persimpangan
menuju desa yang kami cari terlewat. Warga menyarankan kami mengambil jalur
Batukasur. Dari persimpangan tersebut, jalur sudah makadam rusak parah. Medan
jalan lama kelamaan menjadi lebih sulit. Turunan panjang dan curam, makadam
bercampur lumpur dan gerimis yang mulai turun lagi menyulitkan perjalanan kami.
Saya bahkan memutuskan berjalan kaki di jalur ini.
Kami sempat papasan dengan beberapa
warga. Setiap warga yang kami temui, kami tanyai jalur menuju desa yang kami
cari. Dan setiap warga juga memiliki jawaban yang berbeda-beda. Ada yang
menyebutkan kami harusnya tidak lewat jalur ini, ada yang menyebutkan lanjutkan
saja. Karena sudah kepalang masuk jalur ini, kami lanjutkan saja. Setelah
bertemu jalan aspal rusak lagi, saya pun kembali naik motor. Hujan malah
semakin deras.
Setelah kami menyeberangi sebuah
jembatan gantung, jalan pun bercabang lagi. Kali ini, kami sudah tidak tahu
lagi posisi kami dimana dan posisi tujuan kami dimana. Setelah bertanya pada
warga, kami melanjutkan perjalanan. Jalan di depan kami malah semakin sulit.
Medan tanjakan panjang dengan makadam yang dilapisi lumut dan lumpur sukses
membuat saya kembali jalan kaki di tengah guyuran hujan yang malah semakin
deras.
Setelah menemukan rumah-rumah penduduk
lagi, kami pun bertanya lagi apakah jalur kami sudah benar. Menurut warga,
jalur kami sudah benar dan di depan akan kami temui percabangan lagi. Jalur
yang kami ambil adalah yang jalur bawah. Karena sudah pukul 15.00 WIB, hujan
makin deras, posisi kami masih jauh dari tujuan, dan tenaga kami sudah habis,
akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Tanggeung. Jadi, jalur yang sekarang
akan kami cari adalah jalur menuju Tanggeung.
Kami istirahat di sebuah warung.
Ternyata pemilik warung tau jalur menuju air terjun yang kami cari dan sebenarnya
bersedia mengantar, tapi menyarankan kami pulang saja. Karena kami memang tidak
berencana menginap, jadi dipastikan kami akan tiba di desa yang kami cari
menjelang Magrib dan sudah tidak bisa ke Curug Cicalobak.
Menurut pemilik warung dan beberapa warga,
kami salah ambil jalur. Sebenarnya jalur awal kami dari Desa Rawagede adalah
jalur yang termudah dibandingkan jalur Batukasur yang baru saja kami lewati.
Bahkan, warga yang sedang mengobrol ini juga dari Desa Rawagede dan akan ke
Kecamatan Leles. Kali ini kami diberi informasi jalur menuju Tanggeung yang
akan melewati jalur Desa Rawagede, jalur yang harusnya kami lewati.
Kondisi jalan setelah warung tempat
kami berhenti semakin sulit. Lumpur dari batuan kapur yang hancur hampir
setinggi betis. Saya pun kembali berjalan kaki dan hujan masih belum juga
berhenti. Hujan baru berhenti menjelang Magrib dan kami masih terjebak di jalur
yang sebenarnya masih tidak terlalu jauh dari warung. Sudah tidak ada
permukiman penduduk di sekitar kami. Di kanan kami tebing rawan longsor dan
sisi kiri kami jurang dengan aliran sungai besar dan air yang sangat deras.
Setelah keluar dari jalur ini dan menemukan permukiman, kami kembali bertemu
persimpangan besar.
Kami diberitahu warga jalur yang
sebaiknya kami lewati karena sudah gelap. Sebenarnya di persimpangan ini bisa
tembus Agrabinta, Cijati, dan Kadupandak. Perkiraan kami, kali ini kami berada
di Ciogong. Setelah mengikuti jalur yang disarankan, kami kembali masuk hutan
dan jalur masih sama sulitnya. Setelah bertemu permukiman penduduk kembali,
kami bertanya pada supir ELF. Menurut bapak ini, kami tidak disarankan lewat
sini karena di depan jalannya sangat sulit dan sudah malam, kami pun putar arah
lagi ke persimpangan besar tadi.
Jalur yang selanjutnya kami lalui masih
sama sulitnya. Makadam rusak parah, bahkan melintas di tengah pematang sawah
yang cukup sempit. Kami selalu berhenti di setiap persimpangan yang kami temui
untuk bertanya pada warga. Bahkan ketika kami tiba di sebuah persimpangan yang
sangat sepi, saya sampai mengetuk pintu rumah warga untuk menanyakan jalan.
Akirnya kami tiba kembali di Tanggeung sekitar pukul 22.00 WIB dan sedang ada
pemadaman listrik.
Kami menumpang ganti baju dan menambal
ban kembali. Kami berdua basah kuyup dan menggigil, tenaga terkuras habis, kami
pun belum makan sedari siang. Setelah makan di Sukanagara, kami pun pulang ke
Bandung melalui Cianjur kota dengan sisa tenaga yang ada. Sebenarnya, jalur
melalui Cianjur kota lebih jauh karena untuk lewat Pasirkuda sudah sangat tidak
memungkinkan. Sampai sekarang (Januari 2017) saya belum berkesempatan kembali
lagi ke Curug Cicalobak karena menunggu waktu yang pas.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Silahkan berkomentar, menyanggah, bertanya ataupun ingin berkorespondensi.
Terima kasih