Selasa, 31 Desember 2013

Jurnal satubumikita #22 : Belajar dari alam yang terkembang, Ciremai



Tak terasa penghujung  tahun 2013 masehi akan berlalu, pun dengan kegiatan-kegiatan perjalanan yang telah satubumikita jalani selama 2 tahun lebih ini. Banyak suka duka, yang datang dan pergi. Semoga sedikit  banyak ada pelajaran dan pembelajaran yang dapat kita ambil dari setiap perjalanannya untuk diterapkan di kehidupan kita sehari-hari. 

Selain kegiatan yang satubumikita jalani, tak terasa pula sudah 2 digit tulisan amatir yang tergores, yang penulis namakan Jurnal satubumikita. Jurnal satubumikita sendiri merupakan sebuah reportase amatir perjalanan berkala dari komunitas satubumikita. Tulisan yang dipublikasikan di blog (satubumikita.blogspot.com) ini hanya semata-mata sebagai salah satu bagian dari dokumentasi perjalanan. Data dan keterangan yang tercantum bisa saja tidak valid dan akurat, koreksi bisa dilayangkan di bagian komentar atau email satubumikitaeo@gmail.com. Selamat membaca dan wilujeung taun baruan.

***


Langit hitam memekat menemani penghuni bumi yang terlelap, tetesan air mulai turun tercurah dari buaian sang awan kelabu. Deru mesin mobil bak terbuka sejenak memecah kesunyian malam di tengah hamparan perkebunan. Dinginnya udara pengunungan mulai menyapa, di kejauhan  lampu kota genit berkerlap-kerlip.Jalan semakin sempit dan licin, melintasi jalur tanjakan tiba-tiba raungan mesin terdengar keras, bersusah payah menginjak pedal gas, sang pengemudi akhirnya pasrah dan menyerah. Langit gelap masih menemani, onggokan besi bermesin tersebut mundur perlahan, suara deru mesin lamat-lamat mulai menjauh dari kuping digantikan dengan derap langkah dan helaan nafas ke-7 anak manusia.


Selang waktu berganti, sang mentari mulai menampakan diri. Di kejauhan gunung gemunung tersaput kabut tipis terlihat lembut bagai lukisan dalam kanvas.Sebagian dari kami masih merebahkan tubuh di dalam sebuah mushola. Di pagi itu, kawasan tersebut sangat sepi tak ada orang selain kami, kawasan tersebut dinamakan Bumi Perkemahan Berod yang juga merupakan salah satu titik awal pendakian menuju Gunung Ciremai, yaitu Jalur Apuy. Ya perjalanan kami, satubumikita di pagi itu adalah menuju Gunung Ciremai atau ada juga yang menyebut Gunung Ceremai, Cereme. Gunung Ciremai masuk kedalam 3 daerah kabupaten yaitu Cirebon, Kuningan dan Majalengka, serta memiliki 2 jalur umum selain Apuy yaitu Palutungan dan Linggarjati.


Cuaca cerah di pagi hari menemani awal perjalanan kami dan suasana masih sama, sangat sepi tak terlihat penampakan manusia lainnya selain kami, bisa jadi karena hari itu adalah hari jum’at di tanggal yang tanggung dan bukan tanggal ideal untuk pendakian Ciremai karena beberapa hari ke depan adalah libur natal dan tahun baru.


Pendakian pun kami mulai, dengan tubuh yang masih segar serta udara yang sejuk berangin kami langkahkan kaki beriringan di kawasan gunung yang termasuk Taman Nasional Gunung Ciremai. Jalan setapak di awal perjalanan masih cukup bersahabat dan belum kentara dengan tanjakan-tanjakannya.  Jalur Apuy, yang kami lalui menurut berbagai sumber referensi merupakan jalur yang lebih bersahabat dibanding dengan 2 jalur umum lainnya dan yang terberat adalah jalur Linggarjati. Vegetasi tumbuhan dan pohon-pohon yang tumbuh di awal perjalanan pun masih cukup lebat dengan berbagai jenis yang tumbuh bahagia.


Namun cukup disayangkan, sampah-sampah masih banyak berserakan dan bertebaran di tiap pos yang kami lewati. Hal yang bisa jadi sangat menggangu selain sampah bekas pendaki, yaitu air kencing yang dimasukan ke dalam botol plastik dan dibiarkan begitu saja oleh sang pembuang hajat di bawah pohon atau digantung. Entahlah, mitos sesat yang konon bila kencing tak boleh langsung mengenai tanah di Gunung Ciremai, begitu menyesatkan bagi para pendaki yang tak berpikir logis dan malah ikut andil mengotori serta merusak lingkungan dan pemandangan, bahkan malah semakin mengganggu “penghuni” Ciremai.


Seusai beberapa jam berjalan, langkah mulai sedikit tersendat, udara mulai begitu dingin menusuk tulang walaupun waktu masih bisa dikatakan siang. Terus berjalan walau pelan dan sesekali beristirahat diselingi asupan makanan kecil merupakan salah satu antisipasi agar kami tak begitu kelelahan dan kedinginan serta tak kemalaman di jalan.


Di alam bebas seperti di gunung setiap penjelajah atau pendaki memang harus siap dengan berbagai kondisi dan keadaan alam. Persiapan yang matang harus  dilakukan untuk meminimalisir faktor yang bisa membahayakan diri dan tim selama perjalanan. Berkaca dari berbagai contoh kasus kematian pendaki yang banyak terjadi di berbagai gunung di Indonesia, hal tersebut bisa menjadi pelajaran dan bahan pembelajaran berharga bagi satubumikita dan kawan semua kenapa kasus-kasus tersebut bisa terjadi.Terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya, manusia hanya bisa berikhtiar, meminimalisir dan mengantisipasi bahaya tersebut.Karena alam bukan untuk ditaklukan atau dikalahkan.



Sore mulai menggelayut, angin berhembus cukup kencang berbaur dengan selimut kabut.Vegetasi mulai berubah dari hutan berpohon besar menjadi tumbuhan berbatang kecil seperti cantigi dan edelweiss.Jalur pun mulai berubah menjadi jalur berbatu yang cukup curam menanjak. Sekitar 10 jam menempuh perjalanan dari titik awal jalur Apuy, sesuai rencana kami membuka tenda dan berkemah disekitar  Gua walet yang berada di lembah berupa tanah lapang dan cukup reprensentatif. Ternyata selain rombongan satubumikita sudah ada terlebih dahulu satu rombongan lain yang akan berkemah di Gua walet yang berasal dari Jakarta.


Gua walet sendiri menurut keterangan di laman Wikipedia, merupakan daerah yang berada diketinggian sekitar 2900 Mdpl dan menjadi bekas titik letusan Ciremai tempo dulu. Gua yang menganga cukup besar tersebut menjadi sumber air bagi para pendaki. Gua yang tak ada waletnya tersebut sebenarnya berupa cerukan yang menjorok kedalam dengan panjangnya sekitar 20 meter dan dinding atap gua yang cukup besar, gua tersebut  tidak memiliki akses tembusan atau buntu. Sumber air di Gua walet berasal dari rembesan air yang menetes dari atap-atapnya, dan bila musim hujan seperti ini air cukup berlimpah serta  berbanding terbalik dengan musim kemarau.



Adzan maghrib yang terdengar dari salah satu ponsel kawan menemani kami yang sedang mendirikan tenda, dikelilingi dinding tebing yang temaram ditumbuhi edelweiss serta cahaya-cahaya kecil lampu senter, wajah-wajah kuyu bercampur peluh tersirat remang cahaya. Seharusnya bulan begitu indah purnama sempurna di langit, tapi sang halimun dan mega seolah tak merestui untuk kami nikmati. Suasana sepi berteman suara jangrik,  desiran angin dingin berhembus pelan tak menyurutkan aktivitas mengisi perut  sebelum terlelap memulihkan tubuh dalam kantung tidur. Sunyi senyap kemudian membaur dengan sang semesta.


Tak ada ayam berkokok mendadakan pagi telah datang, gelap temaram mulai tersaput secercah cahaya mentari pagi.Semangat mulai terkumpul kembali awali hari, seusai sedikit berkemas dan membawa bekal makan pagi, kami kemudian mulai melangkah menuju pucuk Ciremai. Tenda dan segala asupan beban yang menindih punggung dan pundak seharian kemarin disimpan sementara di sekitar Gua walet.


Langkah kecil mulai terayun dan alangkah indahnya pagi berpanorama gunung gemunung berselaput kabut, awan putih saling berkejaran, nyanyian burung kecil, embun di dedauan.Betapa kayanya ibu pertiwikita ini yang saat tanggal 22 Desember bertepatan dengan hari ibu. Walau harus kita sadari bersama rahasia umum di balik kayanya alam,tapi begitumiskinnya mayoritas penduduk negeri ini. Tersadar pula betapa kecil, tamak dan rakusnya kita sebagai manusia.


Di ujung sana, mulai terlihat batuan beku bekas letusan Ciremai tempo dulu dan menandakan pucuk Ciremai sudah dipelupuk mata,  tapi itu bukan tujuan kami secara tak kasat mata. Tujuan yang lebih bernilai telah kami dapati separuh dalam perjalanan kemarin, dan pucuk tertinggi hanya merupakan sebuah bonus kasat mata yang memanjakan indera penglihatan atas panjang dan terjalnya perjalanan. Ibarat sebuah perjalanan dalam kehidupan, terdapat banyak jalan berliku, dan perjalanannya lah yang akan menempa kita, sedang akhir dan hasil dari perjalanan hanyalah hadiah. Di dalam proses pembelajaran dan pemaknaan hidup, gunung menjadi salah satu dari sekian banyak sarana tempat menuntut ilmu di semesta yang maha luas ini. 


Dinding-dinding cadas kawah nan terjal membisu kaku, asap sulfatara di dasar kawah mengepul tenang. Di bawah sana, di sekeliling nampak kota-kota yang mengelilingi Ciremai, peradaban manusia telah begitu maju. Gunung sebagai saksi peradaban manusia yang secara kultur budaya disucikan, kadang hanya menjadi objek ketamakan manusia, hutannya dibabat, alamnya dirusak atau hanya sebagai tempat pembuangan sampah.

***

Perjalanan kami masih belum berakhir, ada naik pasti ada turun, datang dan pergi, begitu pun perjalanan kami. Jalur turun yang kami lewati yaitu melalui Linggarjati, Kuningan.Jalur berbatu yang cukup menguras tenaga dan kadang melewati turunan tegak lurus yang memerlukan bantuan pegangan akar pohon yang seolah disediakan oleh alam. Di tengah perjalanan turun, hujan mulai mengguyur bumi,  jalur setapak berbatu seolah menjadi aliran sungai dan air terjun berwarna bajigur. Perjalanan yang cukup membutuhkan fisik prima dengan kondisi serta cuaca hujan dan terpaan suhu dingin, kekompakan tim seperjalanan menjadi salah satu poin penting selain persiapan, peralatan dan perbekalan.


Pos demi pos kami lalui, perjalanan kami lalui dengan cukup menyenangkan dan diselipi dengan ocehan senda gurau penghilang lupa lelah. Seusai berjalan sekitar 12 jam, sesuai rencana kami mendirikan tenda, karena tubuh yang sudah sangat lelah dan keseimbangan mulai goyah, lapak tenda dibuka di sebuah tanah datar sebelum kuburan kuda. Malam ke-2 berkemah di Ciremai ini tak banyak aktivitas yang kami lakukan, istirahat, mengisi perut dan cepat bergegas masuk kantung tidur. Dua malam di Ciremai sungguh merupakan anugerah, hujan tak sempat berkunjung ke tenda kami, dan kami semakin terlelap tidur tanpa khawatir akan rembesan air hujan masuk ke dalam tenda.


Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa pagi ke-3 mulai menyambut. Kembali berkemas dan bergegas, perjalanan turun berlanjut menuju titik akhir pendakian di Mata Air Cibunar, Linggarjati Kuningan. Seusai adzan ashar berkumandang sampailah kami di titik akhir pendakian Linggarjati. Sore ke-3 dan hari terakhir perjalanan satubumikita di Gunung Ciremai diakhiri dengan rintik hujan di bulan desember. Di kejauhan kabut mulai menutupi sebagian badan Ciremai yang gagah menjulang. Seperti buah cereme yang masam tapi menyegarkan, banyak cerita di Gunung Ciremai, suka maupun duka, menyenangkan maupun menyebalkan, karena seolah miniatur kehidupan. (Taufik/satubumikita)***




Pendakian Gunung Ciremai, Apuy Majalengka - Linggarjati Kuningan,
 19-22 Desember 2013 :
  1. Puspita Supriati
  2. Tika
  3. Moch.Khaerul Anwar
  4. Taufik Hidayat
  5. Hasby
  6. Firman Nurdi
  7. Gustaf Ridwan Munandar
 Terima kasih, lestari alam kita.

5 komentar :

  1. suka kata2 "Dinding-dinding cadas kawah nan terjal membisu kaku, asap sulfatara di dasar kawah mengepul tenang. Di bawah sana, di sekeliling nampak kota-kota yang mengelilingi Ciremai, peradaban manusia telah begitu maju. Gunung sebagai saksi peradaban manusia yang secara kultur budaya disucikan, kadang hanya menjadi objek ketamakan manusia, hutannya dibabat, alamnya dirusak atau hanya sebagai tempat pembuangan sampah." prbedaan keseimbangan alam yg msh dijaga dgn aturan dan kuasaNya berbdg trblk setlh dikelelola dgn tdk smestinya oleh manusia..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

      Hapus
  2. selama alam masih ada, selama itu pula keinginan kita untuk dapat datang pada-Nya. Terima kasih telah berbagi, selamat beraktivitas untuk bumi kita yang hanya satu ini.

    salam lestari

    BalasHapus

Silahkan berkomentar, menyanggah, bertanya ataupun ingin berkorespondensi.



Terima kasih

ANDA PENGUNJUNG KE-

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...