Berawal dari sebuah
permintaan teman-teman dari ibukota yang ingin mencoba menjelajah dan menikmati
keindahan alam di Bandung, maka di penghujung tahun 2012 dan awal tahun 2013
ini dimulailah perjalanan kecil kami.
30 Desember 2012 - 01 Januari 2013
Perjalanan di hari minggu
itu kami mulai pagi menjelang siang dari bilangan Terminal Ledeng, Jalan
Setiabudi yang padat merayap dipenuhi kendaraan pelancong akhir pekan. Tujuan
pertama yang akan kami jelajahi adalah Gunung Burangrang, sebuah gunung yang
masih berkaitan dengan legenda klasik Sangkuriang. Dengan mencarter angkutan
kota, kami ber-13 bergegas melaju menuju titik awal pendakian di kampung
Cijanggel, kaki Gunung Burangrang, atau biasa disebut pula dengan daerah gerbang
komando. Sebagian besar warga di kaki Burangrang tersebut berprofesi sebagai
petani dan peternak, banyak petak-petak kebun sayuran serta kandang-kandang
ternak seperti sapi dan kambing yang akan menghiasi awal perjalanan pendakian.
Selain itu pemandangan berupa hamparan kota Cimahi dan Bandung yang berada jauh
di bawah cukup terlihat jelas dengan mata telanjang.
Pohon-pohon pinus yang berjejer rapat dan
menjulang ibarat menjadi gerbang masuk menuju petualangan kecil kami. Serasah
pinus yang jatuh berwarna oranye kecokelatan seperti menjadi karpet permadani
hutan yang kontras dan indah. Jalur
selepas vegetasi pinus, kami masih berjalan di jalur datar yang menyenangkan. Setelah
itu barulah vegetasi mulai berubah menjadi hutan yang yang ditumbuhi pepohonan
besar dan semak-semak. Jalur menanjak Burangrang yang khas dan cukup curam mulai nampak satu demi satu di
depan batang hidung kami seolah meminta untuk kami jelajahi.
Untuk sampai di
puncak tertinggi Burangrang (ketinggian sekitar 2.050 mdpl), kami harus rela
melangkahkan kaki sekitar 2-3 jam. Keindahan alam yang disajikan sepanjang
perjalanan memang cukup memanjakan mata, kawasan gunung-gemunung disekitar
jalan yang kami lalui cukup asri dan menyegarkan,
dan sedikit banyaknya bisa membersihkan paru-paru yang sudah cukup
terkontaminasi polusi perkotaan. Setelah mendaki santai sekitar beberapa jam
yang diselingi dengan beristirahat dan sempat pula diguyur hujan yang sangat
lebat. Dengan tubuh kedinginan serta pakaian yang sebagian kuyup kebasahan, kami
pun sampai di jalur menuju puncak, berupa 2 tahap tanjakan sempit berbatu
dengan sudut kemiringan sekitar 70.
Jalur tersebut bisa jadi merupakan klimaks dari jalur yang telah kami lalui
sebelumnya.
Tak lama berselang,
kami pun sampai di puncak dengan sumringah. Senja datang
dan kabut mulai menyeruak menyelimuti kawasan puncak. Seusai mendirikan tenda
dan masakan hangat pun telah matang, kami pun bersama lahap menyantap hidangan
masakan yang cukup nikmat, ditemani
panorama alam parahyangan di senja kala. Kabut semakin pekat dan sang surya
mulai kembali ke peraduannya, gelap pun malam mulai datang diiringi hembusan
angin dingin yang mulai terasa menusuk di musim penghujan bulan Desember.
***
Tak terasa pagi
datang, panorama mulai berganti dari titik-titik lampu kota gemerlap, menjadi
kabut tipis yang mengambang di atas peradaban kota yang dikelilingi oleh
kerucut-kerucut gunung. Puncak gunung memang selalu menawarkan keindahan dan
ceritanya masing-masing, begitu pula gunung Burangrang. Seperti yang telah
sedikit disinggung di awal, Burangrang berkaitan dengan legenda Sangkuriang.
Ya, dalam legenda tersohor Sangkuriang-Dayang Sumbi selain bercerita tentang
terbentuknya gunung Tangkuban Parahu yang terbuat dari perahu yang ditendang
Sangkuriang lalu terbalik, juga menceritakan bahwa ranting atau rangrang dari pohon yang dibuat perahu oleh Sangkuriang
berubah menjadi Gunung Burangrang, lalu tunggul pohonnya berubah menjadi Gunung
Bukittunggul.
Seusai berkemas
perlengkapan dan makan pagi, kami pun bergegas turun untuk melanjutkan
perjalanan menuju objek selanjutnya, yaitu Gunung Tangkuban Parahu yang
memiliki ketinggian sekitar 2.084 mdpl.
Dari Burangrang sendiri, Tangkuban Parahu cukup jelas terlihat karena bisa
dikatakan kedua gunung tersebut bersebelahan yang di batasi oleh batas-batas
alam. Selain Tangkuban parahu, dari atas Burangrang kami pun bisa melihat
pemandangan seperti Situ Lembang dan
beberapa gunung seperti Gede-Pangrango, Slamet, Cikuray dan kerucut gunung
lainnya.
Perjalanan turun
pun dimulai, jalur turun yang kami lewati masih sama seperti saat mendaki, tiba di kaki burangrang sekitar setelah waktu
dzuhur. Karena cuaca yang sepertinya kurang bersahabat dan melihat kondisi
teman-teman, rencana awal perjalanan kami yaitu menjelajah 3 gunung Bandung
secara estafet, yang dimulai dari Gunung Burangrang, Tangkuban Parahu dan
Manglayang terpaksa dengan bijak harus kami skip. Terpaksa Tangkuban Parahu
kami lewat, dan perjalanan langsung dilanjut menuju Manglayang di ujung timur
Bandung.
Seusai beristirahat
dan mengisi amunisi tenaga, perjalanan dilanjut kembali. Dari daerah gerbang
Komando, kami masih harus mencarter angkutan menuju Terminal Ledeng, lalu dari
Ledeng diteruskan menuju Terminal Cicaheum. Dari Terminal Cicaheum, perjalanan
berkendaraan umum masih belum usai, kembali dilanjut menuju Wanawisata Batu
Kuda (salah satu jalur pendakian Gunung Manglayang) di daerah Cibiru.
Perjalanan dari ujung ke ujung Bandung yang cukup eksploratif mengelilingi
sedikit bagian Bandung dalam sekali waktu dan sangat menyenangkan.
Kepadatan kendaraan
di sore hari menjelang akhir tahun semakin menjadi di sore itu, kami baru bisa
sampai di Batu Kuda, kaki Gunung Manglayang sekitar maghrib. Dan lagi-lagi
setelah menimbang cuaca yang memang sedang tak bersahabat dengan kami serta
seorang dari kami yang sakit, kembali pendakian menuju puncak Manglayang di
tunda. Hujan yang tak kunjung reda, membuat sebagian besar dari kami lebih
memilih beristirahat di bale-bale dekat warung.
Gunung Manglayang
sendiri memiliki puncak utama dengan ketinggian sekitar 1.818 mdpl serta
memiliki puncak lainnya yang biasa disebut puncak prisma. Sedang Batu Kuda
sendiri adalah sebuah kawasan wanawisata populer di Bandung Timur dan merupakan
salah satu jalur pendakian menuju puncak Manglayang. Nama batu kuda konon diambil
dari sebuah cerita rakyat, yang menyebutkan bahwa di kawasan tersebut terdapat
kuda seorang raja yang masuk ke dalam lumpur dan berubah menjadi batu. Dan sang
raja ternyata memilih untuk tinggal dan bertapa di sekitar batu kuda tersebut
hingga akhir khayatnya.
***
Malam pergantian
tahun di kaki Manglayang ternyata cukup ramai, banyak orang yang datang dan
berkemah untuk merayakannya di sana. Malah cukup banyak pula yang membawa dan
menyalakan kembang api di kawasan yang cukup banyak pohon pinusnya tersebut.
Kami pun merayakan pergantian tahun dengan hanya menikmati makanan dan tidur,
tentunya berteman suara bising kembang api yang bersahutan. Tak terasa pula
kami terbangun dari mimpi indah di tahun yang baru. Dan perjalanan pun belum
usai kawan. (opik/satubumikia)***
sapa yg sakit ya..
BalasHapussiapa ya? :)
Hapus