Teks dan Foto : Dya Iganov
Sebenernya
touring kali ini hasil dari 'nikung' plan awal temen-temen untuk touring ke
Curug Malela. Berhubung saya tiba-tiba inget satu air terjun yang menurut saya
cukup menarik dan lokasinya tidak terlalu jauh, saya coba 'racunin' temen-temen
saya yang sebenernya lagi ribut untuk ke Curug Malela. Akhirnya setelah debat
dan nambah personil, semua akhirnya sepakat untuk touring ke air terjun yang
saya tawarkan, Curug Sanghyang Taraje di Kabupaten Garut.
Tahap berikutnya
setelah nentuin mau kemana adalah cari personil, berhubung perempuan disini ada
4 orang, jadi seengganya perlu motor yang tanpa boncengan pun 4 motor lengkap
sama cowo yang ngeboncengnya. Akhirnya setelah cukup ribet nyari personil dan
ada sedikit konflik yang cukup bikin saya sakit kepala dan akhirnya nge-black
list satu orang. Akhirnya
terkumpullah 10 orang dengan 5 motor. Berhubung tanggal touring bertepatan sama
Hari Pahlawan, jadi kita mutusin untuk pakai kostum dengan tema 'Merah-Putih'.
SABTU, 10
NOVEMBER 2012
Janjian awal jam
6 pagi, kenyataannya jam 7 baru pergi dari rumah dan berkat sedikit salah paham
tempat janjian, barulah jam 8 bisa kumplit. Akhirnya sekitar jam setengah
sembilan kurang, kami ber-10 pun berangkat. Baru juga jalan 1 Km, salah satu
teman saya ternyata harus balik lagi ke rumah gara-gara Stnknya ketinggalan.
Akhirnya dia mutusin buat balik lg ke rumah & nyusul.
Perjalanan ke
Garut cukup lancar, biar di beberapa titik selepas Cicalengka ada razia rutin
(untung temen saya mau balik lagi ambil Stnk motornya yg ketinggalan). Selepas
razia, jalanan cukup rame, apalagi di daerah
Nagreg sampe masuk Leuweungtiis,
selepas itu lumayan sepi dan karena kita kesiangan masuk Garutnya, akhirnya harus sedikit sabar
sepanjang jalur Tarogong-Cipanas. Yah, maklum Cipanas di hari Sabtu jadi tujuan
wisata primadona. Kita mutusin untuk nunggu temen kita yang balik lagi ambil
Stnk & ternyata jaraknya ga terlalu jauh.
Berhubung belum
ada satu pun yang pergi kearah Pamulihan, jadi patokan kita adalah Kecamatan
Cikajang, ELF Cikajang yang sepanjang dari Bandung cukup banyak kita temuin,
ELF jurusan Bungbulang, ELF jurusan Pakenjeng & Pamulihan yang jadi ELF
paling penting tapi juga jaraaaang banget kita temuin sepanjang perjalanan
Bandung-Garut. Kedodolan kami dimulai ketika masuk Kota Garut. Ga ada satu pun
dari 5 motor ini yang pernah ngubek-ngubek jalur di Kota Garut. Akhirnya, bisa
ditebak kita nyasar di Kota Garut. Untungnya insting untuk kepo ke warga
setempat pun muncul, daaan akhirnya jalan yang harusnya kita ambil ada di
belakang, puter araaah!! Begitu sampe ke jalan raya utama, lewatlah ELF jurusan
Bungbulang, rezekiiii. Ga pikir panjang, kita akhirnya ngebuntutin ELF
Bungbulang, sampe ELFnya berenti nurunin penumpang pun kita ikut berenti demgan
modus nungguin yang ketinggalan. Setelah masuk di jalur yang bener & sambil
nungguin yg ketinggalan, ga ada salahnya kan nanya lagi sama warga disana. Kata
Bapa yang saya tanya, kalau mau ke Cikajang, jalurnya udah bener, tinggal
ikutin jalan aja dan ternyata satu arah sama Pasar Cisurupan yang untuk start
pendakian Papandayan. Lumayan dapet patokan lg, abis Pasar Cisurupan, masih
terus ikutin jalan sampe nemu pertigaan, nah pertigaan itu namanya pertigaan
Cikajang, di sana kita disuruh nanya lagi.
Setelah semua
lengkap, kita pun terusin lg perjalanan ke Curug Sanghyang Taraje yang entah
masih seberapa jauh. Sempet kepikiran, takut nanti ga nyampe ke curugnya
gara-gara masih ga tau jalannya kemana. Begitu lewat dari pertigaan di deket
pusat Kota Garut, jalanan jadi lebih sepi, pemandangan di kanan sama kiri jalan
udah ga sesumpek sebelumnya. Toko-toko dan on street parking udah ganti sama
sawah yang luaaas plus background jejeran gunung-gunung di daerah Bandung &
Cicalengka, deretan perbukitan di Selatan Garut dan Cikuray yang gagah di sepanjang
perjalanan. Macet cuman ada di beberapa titik pasar sama pertigaan Cisurupan.
Berhubung baru pertama kali lewat ke daerah ini, jadi jalannya aga pelan-pelan
dan sampe di pertigaan Pasar Cisurupan hampir jam 10.00, udah mulai ada
beberapa sekolah yang bubar, telat sedikit perjalanan kita bakalan kehambat
sama bubaran sekolah & jalanan rame sama anak sekolah. Selepas pertigaan
Cisurupan, jalannya jadi lebih sepi dan makin lebar. Pemandangan di kiri jalan
udah ganti lagi sama Cikuray dari sisi Cikajang dan aliran sungai yang
berkelok-kelok dengan aliran air yang jernih, persis kaya di lukisan-lukisan
ama ilustrasi buku pelajaran jaman sekolah dulu.
Selepas
pertigaan Pasar Cisurupan, jalannya jadi lebih lebar dan sepi, tapi balik lagi
jadi berkelok-kelok, beberapa tikungan tajam, tanjakan ama turunan lumayan
berat sama dan bonus kondisi jalan yang aga berlubang bahkan bergelombang.
Jarak dari pertigaan Pasar Cisurupan ke Pertigaan Cikajang yang jadi patokan
utama kita sebenernya ga terlalu jauh, cman gara-gara baru pertama kali lewat
sini, jadi waktu tempuhnya aga lama sedikit.
Akhirnya kami sampai di pertigaan yang dimaksud selama nanya sana-sini sama
warga, ternyata tepat di pertigaannya, ada papan penunjuk arah “Curug Kembar,
Curug Orok, Curug Cikahuripan” ke arah sebelah kanan dri pertigaan ini. Begitu
belok di pertigaan, jalan kembali mengecil dan berkelok-kelok, tapi ga begitu
lama. Akhir jalan berkelok ditandai dengan markas KostrAD Tengkorak Putih yang
gapura dan petung di atas gapuranya yang cukup bikin merinding kalau lewat pas
gelap & sepi. Setelah markas KostrAD, jalannya relatif datar dan lurus
melewati permukiman warga dan kantor Desa Cikandang yang di depan kantornya ada
patung sapi perah. Di sepanjang jalan ini, ada pertigaan yang menuju tempat rafting
Sungai Cikandang di sisi kanan jalan. Setelah lewat pertigaan rafting tadi,
jalannya jadi berkelok-kelok lagi dan perukiman penduduk di ganti dengan kebun
teh. Begitu masuk perkebunan teh, tepat di tikungan ada papan ukiran yang
menandakan kita sudah tiba di Desa Pamulihan/ Perkebunan teh ini masih
merupakan perkebunan milik PTPN VIII Kebun Papandayan. Kebun Papandayan yang
sama dengan yang ada di wilayah Arjuna, Kabupaten Bandung. Kebun Papandayan ini
dinamai sesuai dengan lokasinya yang memang berada di kaki Gunung Papandayan,
di sisi lain Gunung Papandayan yang biasanya kita lihat dari Kecamatan
Cisurupan.
Ga sengaja, kami malah nemuin pintu masuk ke Curug Orok.
Untuk mastiin lagi jalan yang kami ambil ini bener, kami pun berhenti di pintu
masuk Curug Orok dan nanya sama penjual di sana arah menuju Curug Sanghyang
Taraje. Sempat terpikir untuk mampir dulu ke Curug Orok, tapi begitu melihat
jalan masuknya yang batu-batu dan jalan ke tempat tujuan pun masih jauh,
jadilah sebagian dari kami akhirnya hanya foto-foto di kebun teh Papandayan.
Berhubung jalannya mulus banget, jadi ga terlalu lama
kami buat sampe di PLN Sumadra dengan pemandangan Gunung Papandayan di sisi
kanan jalan dan perbukitan terjal di sisi kiri jalan. Selepas PLN Sumadra,
jalan kembali jelek, meskipun ga terlalu rusak dan sampailah kami di Desa
Pamulihan, Kecamatan Pakenjeng dengan ditandai dengan pasar dan beberapa ELF
yang parkir di sana-sini. Kami berhenti di satu rumah makan yang banyak ELF
nya, berhubung udah jam 11.00 juga, jadi sambil nanya jalan sambil bungkus
untuk makan siang. Di rumah makan ini banyak ELF jurusan Bungbulang yang
berenti, ELF yang jadi patokan ke-2, patokan pertama kami yaitu jurusan
Pamulihan yang sedari tadi ga ada satu pun yang keliatan. Untuk satu nasi bungkus
yang isinya nasi, ayam goreng, telor, sayur dan sambal yang harganya Rp.
10.000, 00 bisa dibilang murah. Ternyata kami harus belok kanan tepat setelah
kantor desa Pamulihan untuk masuk jalan menuju Curug Sanghyang Taraje dari arah
Cikajang, sedangkan jalan yang kami ambil saat ini adalah jalan menuju
Kecamatan Bungbulang yang melewati Kecamatan Pakenjeng. Setelah mendapat
sedikit petunjuk jalan dan bekal makan siang pun sudah aman, kami meneruskan
perjalanan.
Kami memutar arah dan langsung belok ke kiri (jika dari
arah Bungbulang). Jalan yang kami ambil kali ini sedikit lebih kecil dari jalan
sebelumnya, dan tentunya lebih rusak. Selepas pasar Pamulihan, kondisi di
sepanjang jalan berubah menjadi tebing dan jurang, bukan lagi pasar dan
bangunan kantor. Jalan yang kami lewati pun makin lama kondisinya makin parah,
tidak lagi jalan dengan permukaan aspal yang sudah mengelupas, tetapi jadi
jalan yang permukaannya penuh dengan bekas tanah liat terkena air hujan,
genangan air yang cukup dan menyebar di permukaan jalan, serta lumpur.
Sepanjang perjalan kami dari Bandung sampai di tempat ini sama sekali ga ujan,
tetapi begitu sampai di Pamulihan, awan hujan seperti sudah siap menyambut kami
dan sepertinya pagi tadi daerah ini diguyur hujan yang cukup lama, jalanan dan
pepohonannya sebagian masih basah.
Sebenarnya jalannya tidak terlalu berkelok-kelok dan
tidak ada tikungan tajam, hanya sedikit melipir jurang dan pinggiran tebing
sampai di sebuah gapura yang bertuliskan “Selamat datang di desa percontohan
Desa Pakenjeng” Mulai dari sini, pinggiran jurang dan tebing berubah kembali
menjadi permukiman penduduk dan sedikit areal perkebunan teh dengan kondisi
jalan yang masih sama, jelek dan berlubang. Setelah desa ini habis, jalan akan
sedikit menanjak, berkelok-kelok dan tepat di pinggir jurang. Sebenarnya jalan
ini tidak terlalu panjang, tidak berapa lama kita kan masuk sebuah desa lagi,
ikuti jalannya sampai menemukan tikungan tajam. Kebetulan pada saat kami tiba
di tikungan tersebut, ada ELF jurusan Pamulihan yang sedang parkir. Tidak pikir
panjang, kami pun berhenti dan bertanya pada warga jalan menuju Curug Sanghyang
Taraje. Ternyata jalannya tepat berada di samping kami. Patokannya adalah
tikungan yang cukup tajam satu-satunya setelah melewati kebun teh dan ada gapura.
Jalannya langsung menyempit, sangat sempit, lebarnya hanya cukup untuk satu
unit mini bus, jadi kalau ada kendaraan roda empat papasan akan sangat sulit.
Selain jalannya yang menjadi sangat sempit, kondisinya sedikit lebih rusak dari
jalan utama Desa Pakenjeng – Kampung Kombongan. Nama tempat Curug Sanghyang
Taraje berada yaitu Kampung Kombongan Hilir. Warga di Desa Pakenjeng, bahkan di
Kecamatan Pamulihan sudah cukup akrab dengan Curug Sanghyang Taraje, jadi tidak
perlu terlalu khawatir kesulitan mencari lokasi air terjunnya.
Begitu kami berbelok ke jalan kecil menuju Curug
Sanghyang Taraje, medannya langsung menurun cukup terjal, setelah itu sedikit
berkelok-kelok. Medan turunannya cukup terjal dan panjang, dengan sawah dan
jurang di sisi kanan dan kiri jalan. Beruntung kami menggunakan sepeda motor,
karena jika menggunakan mobil, sepertinya tidak memungkinkan. Pemandangannya
berganti dari sawah dan jurang menjadi tebih dan jurang-jurang yang cukup lebat
dengan pepohonan, setelah itu berganti menjadi jurang yang sangat dalam di
kedua sisi jalan. Di seberang jurang sebelah kanan terlihat beberapa bagian
bukit yang ditambang secara tradisonal. Kerusakan lahan dan potensi longsor
sangat terlihat jelas dari sini. Sisi perbukitan yang hijau langsung jelas
berubah menjadi lahan tandus karena pertambangan galian tipe C yang masih
berlangsung. Di kiri dan kana jurang terdapat aliran Sungai Cikandang yang
aliran airnya terbagi menjadi dua aliran. Aliran sungai yang berada di sisi
kiri jalan merupakan aliran sungai yang sedikit lebih desar dengan ukuran
sungai yang lebih lebar. Aliran sungai inilah yang pada akhirnya menajdi aliran
Curug Sanghyang Taraje.
Kondisi jalannya cukup bagus, hanya medannya saja yang
sedikit berbahaya, jalan yang sangat sempit dan diapit jurang yang sangat
dalam, beberapa titik yang jalannya patah, jalan yang licin karena hjan dan
longsoran tebing, serta kabut yang tidak menutup kemingkinan turun dan cukup
tebal. Tidak berapa lama dari lokasi kami melihat pertambangan di lereng bukit seberang
jurang sisi kanan, di sisi kiri jalan, kami akhirnya melihat Curug Sanghyang
Taraje. Curug Sanghyang Taraje yang kami lihat ketika itu alirannya sangat
deras tetapi jernih, karena hujan yang turun pada pagi harinya. Beberapa dari
kami memanfaatkan untuk mengambil foto, sementara beberapa lagi memilih untuk
meneruskan peralanan mencari jalan masuk ke Sanghyang Taraje. Tidak jauh dari
tempat kami melihat Curug Sanghyang Taraje, teman kami menemukan satu pos
siskamling yang ternyata sekaligus juga merupakan jalan masuk menuju curug.
Kami tiba di pintu masuk sekitar pukul 13.12 siang hari.
Cuaca tidak cerah tetapi juga tidak hujan. Kami sedikit bingung karena jalan
masuknya hanya beruba jalan setapak dari tanah yang di sisi kirinya langsung
jurang an sawah, sementara sisi kanannya tebih yang rawan longsor. Akhirnya
dengan sedikit putar otak, ke-5 motor ini digotong dan disimpan di balik
pepohonan dan di jejerkan sepanjang jalan masuk yang hanya berupa jalan setapak
dari tanah dan tidak lupa menutupnya dengan daun. Kalau diparkir di pinggir
jalan, takutnya nanti menghalangi pick up yang memang paling sering dan paling
banyak melintas di jalan ini dan takutnya juga motor kami sudah berpindah ke
bak mobil pick up. Jarak dari jalan masuk hingga tepat ke depan air terjun
dapat ditempuh dengan waktu lima menit berjalan kaki, tetapi jika sedang puncak
musim hujan, jalurnya akan sedikit lebih susah karena lumpur. Meskipun hanya
liam menit, tetapi jarak pandang dari jalan masuk tidak akan sampai ke depan
air terjun, oleh karena itu kami sebenarnya sedikit cemas memarkirkan motor di
pinggir jalan dan memilih untuk menggotong motor aga ke dalam.
Sambil menunggu teman-teman kami selesai menggontong
motor, kami pun merapihkan pakaian dan mengeluarkan alat lenong kami, apalagi
kalau bukan kamera. Ketika sedang menunggu itulah saya merasa sedikit pusing,
rasanya jalan seperti berguncang. Teman saya juga ternyata merasa sama,
lagipula guncangan seperti ini bukan akibat dari terlalu lama di atas motor dan
melewati jalan sangat jelek terlalu lama, ya, guncangan ini gempa bumi. Getaran
gempa yang kami rasakan cukup kencang dan lama, apalgi kami saat ini memang
sedang berada di daerah perbukitan dan termasuk zona rawan bencana gempa,
karena daerah kami sudah termasuk ke dalam zona Selatan. Setelah gempa mereda
dan dirasakan semua aman, tidak ada jalan amblas, tidak ada tebing yang
longsor, dan tidak ada jalan yang retak, kami pun bergegas menuju Curug
Sanghyang Taraje. Baru juuga tiga langkah kami berjalan, hujan turun, meskipun
belum terlalu deras, tapi sangat cukup untuk membuat pakaian kami basah. Jalan
menuju aliran sugai cukup sulit dilewati ketika hujan, sama seperti tulisan
seorang yang belum lama mengunjungi Curug Sanghyang Taraje.
Setibanya kami di dekat air terjun, hujan makin deras,
untungnya ada satu gubug yang kondisinya memprihatinkan tetapi masih bisa
dijadikan tempat berteduh untuk sepuluh orang. Sambil menunggu hujan yang makin
lama makin deras, kami makan siang. Makan siang beres, hujan pun reda, meskipun
masih sedikit gerimis, tapi karena sudah terlanjur basah, ya sudah, langsung
eksplore. Aliran air Curug Sanghyang Taraje cukup deras karena hujan barusan,
jadi cipratan airnya juga cukup lumayan untuk semakin basah kuyup. Untuk
mengambil foto pun lumyana sulit karena hasil foto akan selalu burem terkena
cipratan air terjun. Curug Sanghyang Taraje ini juga merupakan salah satu
aliran sungai yang dimafaatkan sebagai PLTMh dengan induknya yaitu aliran
Sungai Cikandang. Meskipun habis hujan, tetapi warna aliran airnya tidak
berubah menjadi cokelat, tetap bening, artinya lahan di sekitar aliran Sungai
Cikandang masih terjaga dari erosi, mengingat posisi Curug Sanghyang Taraje
berada pada lokasi sungau stadia muda yang sempurna. Sebenarnya masih ada dua
air terjun lagi di sepanjang aliran ini, tetapi sayang, kami tidak sempat
mengeksplore sampai ke lokasi dua air terjun tersebut karena medannya yang
cukup sulit.
Puas berfoto-foto narsis, kami pun foto keluarga dengan
tema ‘Merah-Putih’ untuk ikut berpartisipasi memperingati Hari Pahlawan dengan
cara kami sendiri. Selesai foto, kami harus ganti baju karena akan kembali
menempuh rute yang cukup panjang ke Bandung, tetapi, inilah kekurangan dari
objek wisata ini, masih sangat minimnya fasilitas pendukung. Tetapi meskipun
minim fasilitas, sinyal provider warna kuning ini cukup kencang, terbukti
dengan masuknya telepon dari temen dan kami malah sempat ngobrol lama sambil
menunggu teman yang lain ganti baju. Minim fasilitas bukan berarti jadi mati
gaya, justru membuat kami jadi sedikit kreatif. Berhubung tidak ada fasilitas
MCK yang kami butuhkan untuk ganti baju, jadinya kami memanfaatkan semak-semak
yang cukup tinggi di dekat tebing dan agak jauh dari gubug tempat kami
menyimpan tas. Setelah selesai ganti baju, kami bersiap pulang, hujan sudah
reda, hanya tinggal mendungnya saja, berhubung ini juga sudah sore, sudah jam
15.30. Hal pertama yang kami lakukan tentunya menggotong lagi motor-motor kami
ke pinggir jalan. Lumayan susah, karena jalan setapaknya sudah penuh lumpur.
Setelah susah payah menggotong motor, tantangan kedua adalah kami harus menempuh
tanjakan yang cukup berat, malah beberapa dari kami turun karena motornya ga
kuat nanjak. Maklum, tanjakan di jalur ini cukup curam dan panjang. Ketika
sedang menunggu teman-teman yang turun dari motor, saya bertemu dengan bapak
penjual barang kelontong.
Sedikit obrolan saya dengan beliau, dengan baju yang
basah, entah basah karena keringat saja atau bercampur air hujan, yang pasti
bapak ini memikul barang dagangan yang cukup berat selama hampir tiga jam
lamanya dengan medan yang dominan menanjak. Tujuan bapak ini adalah Pamulihan,
dan baru akan menumpang kendaraan ketika sudah tiba di Desa Pakenjeng, kalau
tidak ada, terpaksa bermalam atau berjalan kaki sambil menunggu tumpangan. Sebenarnya
di belakang bapak ini masih ada dua orang lagi yang berjalan kaki, tetapi
berhubung jaraknya cukup jauh dengan saya, jadi saya tidak sempat mengobrol
dengan bapak-bapak lainnya. Sesampai di gapura tempat kami melihat ELF
Pamulihan, kami berhenti lagi untuk menunggu teman kami yang masih ketinggalan.
Perjalanan dari gapura ke perkebunan dekat dengan gapura Desa Pakenjeng sengaja
kami percepat mengingat sudah pukul 16.00, kami khawatir jika hujan dan kabut
turun, perjalanan kami ke Bandung akan memakan waktu yang cukup lama, sedangkan
fisik kami sudah mulai berasa cape. Sambil menunggu teman yang masih di
belakang, kami berfoto-foto dulu di desa setelah perkebunan teh. Setelah itu
perjalanan diteruskan non stop sampai setelah PLN Sumadra. Di PLN Sumadra saya
dan beberapa teman berhenti sejenak untuk mengambil foto pemandangan Gunung
Papandayan dengan kabut tebalnya, sementara beberapa teman saya yang lain tetap
meneruskan perjalanan. Kami pun meneruskan perjalanan karena sudah hampir
Magrib, kami mulai jalan lagi sekitar pukul 17.40. Berhubung Magrib, kami
berhenti dulu di Desa Cikandang untuk Shalat Maghrib. Dari pertama berhenti di
sekitar PLN Sumadra hingga selesai Shalat Maghrib di Desa Cikandang, kami sudah
terbagi menjadi dua kloter dan kami tidak tahu posisi masing-masing. Sedikit
cemas, apalagi sinyal hp sedikit jelek di daerah ini juga batre yang sudah
hampir hambis. Pukul 18.30 kami mulai jalan lagi, dengan kondisi yang sudah
mulai gelap, kami pun menjaga jarak agar tidak terlalu jauh. Untungnya sebelum
pergi, teman kami yang terpisah mengabarkan kalau mereka sudah sampai di
Cikajang, kami pun segera menyusul dengan tetap menjaga jarak agar tidak
terlalu jauh karena sudah mulai gelap.
Suasana di sepanjang jalan dari Desa Cikandang hingga
pertigaan Cikajang selepas Magrib jauh berbeda dengan pada saat siang. Hanya
kami dan beberapa motor warga yang melintas di sini, itu pun hanya perjalanan
jarak dekat, ELF pun nampak belum terlihat lagi setelah kami berhenti di PLN
Sumadra. Setibanya di pertigaan Cikajang, tepat pukul 19.00, niatnya mau makan
malam dulu, tetapi tidak jadi karena tidak banyak pilihan makanan, jadi kami
memutuskan untuk makan di Kota Garut atau di Leles. Perjalanan Cikajang-Kota
Garut hanya kami tempuh dalam waktu 1,5 jam, selain jalannya kosong, kami pun
mengejar waktu agar tidak terlalu malam sampai di Bandung, terlebih lagi dengan
perut kosong dan kedinginan sepanjang perjalanan. Masuk Kota Garut nampak masih
belum ada pilihan tempat untuk makan malam, akhirnya kami memutuskan untuk
makan di Leles, di sate depan kantor polisi Leles yang biasa saya dan teman
saya beli. Jam 21.00 kami sampai di Leles, ternyata tempat makannya masih
penuh, bahkan kami pun memarkir sepeda motor di halaman kantor di belakang
tukang sate. Pukul 22.00 kami pulang. Leles – Bandung di hari Sabtu menjelang
tengah malam cukup sepi, hanya di Kadungora sampai ke Nagreg saja yang cukup
penuh karena jalannya memang menanjak. Selepas Leles entah karena tenaganya
full lagi, entah karena ngantuk, atau karena udah malem, kayanya ampir 5 motor
ini ngebut semua, walhasil kami semua tiba di Bandung pukul 23.00, hanya 1 jam
saja dari yang biasanya 1,5 sampai 2 jam.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Silahkan berkomentar, menyanggah, bertanya ataupun ingin berkorespondensi.
Terima kasih