Kamis, 28 April 2016

Touring Tikung Menikung Curug Sanghyang Taraje, Garut




Teks dan Foto : Dya Iganov

Sebenernya touring kali ini hasil dari 'nikung' plan awal temen-temen untuk touring ke Curug Malela. Berhubung saya tiba-tiba inget satu air terjun yang menurut saya cukup menarik dan lokasinya tidak terlalu jauh, saya coba 'racunin' temen-temen saya yang sebenernya lagi ribut untuk ke Curug Malela. Akhirnya setelah debat dan nambah personil, semua akhirnya sepakat untuk touring ke air terjun yang saya tawarkan, Curug Sanghyang Taraje di Kabupaten Garut.




Tahap berikutnya setelah nentuin mau kemana adalah cari personil, berhubung perempuan disini ada 4 orang, jadi seengganya perlu motor yang tanpa boncengan pun 4 motor lengkap sama cowo yang ngeboncengnya. Akhirnya setelah cukup ribet nyari personil dan ada sedikit konflik yang cukup bikin saya sakit kepala dan akhirnya nge-black list satu orang. Akhirnya terkumpullah 10 orang dengan 5 motor. Berhubung tanggal touring bertepatan sama Hari Pahlawan, jadi kita mutusin untuk pakai kostum dengan tema 'Merah-Putih'.



SABTU, 10 NOVEMBER 2012



Janjian awal jam 6 pagi, kenyataannya jam 7 baru pergi dari rumah dan berkat sedikit salah paham tempat janjian, barulah jam 8 bisa kumplit. Akhirnya sekitar jam setengah sembilan kurang, kami ber-10 pun berangkat. Baru juga jalan 1 Km, salah satu teman saya ternyata harus balik lagi ke rumah gara-gara Stnknya ketinggalan. Akhirnya dia mutusin buat balik lg ke rumah & nyusul. 





Perjalanan ke Garut cukup lancar, biar di beberapa titik selepas Cicalengka ada razia rutin (untung temen saya mau balik lagi ambil Stnk motornya yg ketinggalan). Selepas razia, jalanan cukup rame, apalagi di daerah Nagreg sampe masuk Leuweungtiis, selepas itu lumayan sepi dan karena kita kesiangan masuk Garutnya, akhirnya harus sedikit sabar sepanjang jalur Tarogong-Cipanas. Yah, maklum Cipanas di hari Sabtu jadi tujuan wisata primadona. Kita mutusin untuk nunggu temen kita yang balik lagi ambil Stnk & ternyata jaraknya ga terlalu jauh. 




Berhubung belum ada satu pun yang pergi kearah Pamulihan, jadi patokan kita adalah Kecamatan Cikajang, ELF Cikajang yang sepanjang dari Bandung cukup banyak kita temuin, ELF jurusan Bungbulang, ELF jurusan Pakenjeng & Pamulihan yang jadi ELF paling penting tapi juga jaraaaang banget kita temuin sepanjang perjalanan Bandung-Garut. Kedodolan kami dimulai ketika masuk Kota Garut. Ga ada satu pun dari 5 motor ini yang pernah ngubek-ngubek jalur di Kota Garut. Akhirnya, bisa ditebak kita nyasar di Kota Garut. Untungnya insting untuk kepo ke warga setempat pun muncul, daaan akhirnya jalan yang harusnya kita ambil ada di belakang, puter araaah!! Begitu sampe ke jalan raya utama, lewatlah ELF jurusan Bungbulang, rezekiiii. Ga pikir panjang, kita akhirnya ngebuntutin ELF Bungbulang, sampe ELFnya berenti nurunin penumpang pun kita ikut berenti demgan modus nungguin yang ketinggalan. Setelah masuk di jalur yang bener & sambil nungguin yg ketinggalan, ga ada salahnya kan nanya lagi sama warga disana. Kata Bapa yang saya tanya, kalau mau ke Cikajang, jalurnya udah bener, tinggal ikutin jalan aja dan ternyata satu arah sama Pasar Cisurupan yang untuk start pendakian Papandayan. Lumayan dapet patokan lg, abis Pasar Cisurupan, masih terus ikutin jalan sampe nemu pertigaan, nah pertigaan itu namanya pertigaan Cikajang, di sana kita disuruh nanya lagi.




Setelah semua lengkap, kita pun terusin lg perjalanan ke Curug Sanghyang Taraje yang entah masih seberapa jauh. Sempet kepikiran, takut nanti ga nyampe ke curugnya gara-gara masih ga tau jalannya kemana. Begitu lewat dari pertigaan di deket pusat Kota Garut, jalanan jadi lebih sepi, pemandangan di kanan sama kiri jalan udah ga sesumpek sebelumnya. Toko-toko dan on street parking udah ganti sama sawah yang luaaas plus background jejeran gunung-gunung di daerah Bandung & Cicalengka, deretan perbukitan di Selatan Garut dan Cikuray yang gagah di sepanjang perjalanan. Macet cuman ada di beberapa titik pasar sama pertigaan Cisurupan. Berhubung baru pertama kali lewat ke daerah ini, jadi jalannya aga pelan-pelan dan sampe di pertigaan Pasar Cisurupan hampir jam 10.00, udah mulai ada beberapa sekolah yang bubar, telat sedikit perjalanan kita bakalan kehambat sama bubaran sekolah & jalanan rame sama anak sekolah. Selepas pertigaan Cisurupan, jalannya jadi lebih sepi dan makin lebar. Pemandangan di kiri jalan udah ganti lagi sama Cikuray dari sisi Cikajang dan aliran sungai yang berkelok-kelok dengan aliran air yang jernih, persis kaya di lukisan-lukisan ama ilustrasi buku pelajaran jaman sekolah dulu.



Selepas pertigaan Pasar Cisurupan, jalannya jadi lebih lebar dan sepi, tapi balik lagi jadi berkelok-kelok, beberapa tikungan tajam, tanjakan ama turunan lumayan berat sama dan bonus kondisi jalan yang aga berlubang bahkan bergelombang. Jarak dari pertigaan Pasar Cisurupan ke Pertigaan Cikajang yang jadi patokan utama kita sebenernya ga terlalu jauh, cman gara-gara baru pertama kali lewat sini, jadi waktu tempuhnya aga lama sedikit. Akhirnya kami sampai di pertigaan yang dimaksud selama nanya sana-sini sama warga, ternyata tepat di pertigaannya, ada papan penunjuk arah “Curug Kembar, Curug Orok, Curug Cikahuripan” ke arah sebelah kanan dri pertigaan ini. Begitu belok di pertigaan, jalan kembali mengecil dan berkelok-kelok, tapi ga begitu lama. Akhir jalan berkelok ditandai dengan markas KostrAD Tengkorak Putih yang gapura dan petung di atas gapuranya yang cukup bikin merinding kalau lewat pas gelap & sepi. Setelah markas KostrAD, jalannya relatif datar dan lurus melewati permukiman warga dan kantor Desa Cikandang yang di depan kantornya ada patung sapi perah. Di sepanjang jalan ini, ada pertigaan yang menuju tempat rafting Sungai Cikandang di sisi kanan jalan. Setelah lewat pertigaan rafting tadi, jalannya jadi berkelok-kelok lagi dan perukiman penduduk di ganti dengan kebun teh. Begitu masuk perkebunan teh, tepat di tikungan ada papan ukiran yang menandakan kita sudah tiba di Desa Pamulihan/ Perkebunan teh ini masih merupakan perkebunan milik PTPN VIII Kebun Papandayan. Kebun Papandayan yang sama dengan yang ada di wilayah Arjuna, Kabupaten Bandung. Kebun Papandayan ini dinamai sesuai dengan lokasinya yang memang berada di kaki Gunung Papandayan, di sisi lain Gunung Papandayan yang biasanya kita lihat dari Kecamatan Cisurupan.



Ga sengaja, kami malah nemuin pintu masuk ke Curug Orok. Untuk mastiin lagi jalan yang kami ambil ini bener, kami pun berhenti di pintu masuk Curug Orok dan nanya sama penjual di sana arah menuju Curug Sanghyang Taraje. Sempat terpikir untuk mampir dulu ke Curug Orok, tapi begitu melihat jalan masuknya yang batu-batu dan jalan ke tempat tujuan pun masih jauh, jadilah sebagian dari kami akhirnya hanya foto-foto di kebun teh Papandayan.



Berhubung jalannya mulus banget, jadi ga terlalu lama kami buat sampe di PLN Sumadra dengan pemandangan Gunung Papandayan di sisi kanan jalan dan perbukitan terjal di sisi kiri jalan. Selepas PLN Sumadra, jalan kembali jelek, meskipun ga terlalu rusak dan sampailah kami di Desa Pamulihan, Kecamatan Pakenjeng dengan ditandai dengan pasar dan beberapa ELF yang parkir di sana-sini. Kami berhenti di satu rumah makan yang banyak ELF nya, berhubung udah jam 11.00 juga, jadi sambil nanya jalan sambil bungkus untuk makan siang. Di rumah makan ini banyak ELF jurusan Bungbulang yang berenti, ELF yang jadi patokan ke-2, patokan pertama kami yaitu jurusan Pamulihan yang sedari tadi ga ada satu pun yang keliatan. Untuk satu nasi bungkus yang isinya nasi, ayam goreng, telor, sayur dan sambal yang harganya Rp. 10.000, 00 bisa dibilang murah. Ternyata kami harus belok kanan tepat setelah kantor desa Pamulihan untuk masuk jalan menuju Curug Sanghyang Taraje dari arah Cikajang, sedangkan jalan yang kami ambil saat ini adalah jalan menuju Kecamatan Bungbulang yang melewati Kecamatan Pakenjeng. Setelah mendapat sedikit petunjuk jalan dan bekal makan siang pun sudah aman, kami meneruskan perjalanan. 



Kami memutar arah dan langsung belok ke kiri (jika dari arah Bungbulang). Jalan yang kami ambil kali ini sedikit lebih kecil dari jalan sebelumnya, dan tentunya lebih rusak. Selepas pasar Pamulihan, kondisi di sepanjang jalan berubah menjadi tebing dan jurang, bukan lagi pasar dan bangunan kantor. Jalan yang kami lewati pun makin lama kondisinya makin parah, tidak lagi jalan dengan permukaan aspal yang sudah mengelupas, tetapi jadi jalan yang permukaannya penuh dengan bekas tanah liat terkena air hujan, genangan air yang cukup dan menyebar di permukaan jalan, serta lumpur. Sepanjang perjalan kami dari Bandung sampai di tempat ini sama sekali ga ujan, tetapi begitu sampai di Pamulihan, awan hujan seperti sudah siap menyambut kami dan sepertinya pagi tadi daerah ini diguyur hujan yang cukup lama, jalanan dan pepohonannya sebagian masih basah.



Sebenarnya jalannya tidak terlalu berkelok-kelok dan tidak ada tikungan tajam, hanya sedikit melipir jurang dan pinggiran tebing sampai di sebuah gapura yang bertuliskan “Selamat datang di desa percontohan Desa Pakenjeng” Mulai dari sini, pinggiran jurang dan tebing berubah kembali menjadi permukiman penduduk dan sedikit areal perkebunan teh dengan kondisi jalan yang masih sama, jelek dan berlubang. Setelah desa ini habis, jalan akan sedikit menanjak, berkelok-kelok dan tepat di pinggir jurang. Sebenarnya jalan ini tidak terlalu panjang, tidak berapa lama kita kan masuk sebuah desa lagi, ikuti jalannya sampai menemukan tikungan tajam. Kebetulan pada saat kami tiba di tikungan tersebut, ada ELF jurusan Pamulihan yang sedang parkir. Tidak pikir panjang, kami pun berhenti dan bertanya pada warga jalan menuju Curug Sanghyang Taraje. Ternyata jalannya tepat berada di samping kami. Patokannya adalah tikungan yang cukup tajam satu-satunya setelah melewati kebun teh dan ada gapura. Jalannya langsung menyempit, sangat sempit, lebarnya hanya cukup untuk satu unit mini bus, jadi kalau ada kendaraan roda empat papasan akan sangat sulit. Selain jalannya yang menjadi sangat sempit, kondisinya sedikit lebih rusak dari jalan utama Desa Pakenjeng – Kampung Kombongan. Nama tempat Curug Sanghyang Taraje berada yaitu Kampung Kombongan Hilir. Warga di Desa Pakenjeng, bahkan di Kecamatan Pamulihan sudah cukup akrab dengan Curug Sanghyang Taraje, jadi tidak perlu terlalu khawatir kesulitan mencari lokasi air terjunnya. 



Begitu kami berbelok ke jalan kecil menuju Curug Sanghyang Taraje, medannya langsung menurun cukup terjal, setelah itu sedikit berkelok-kelok. Medan turunannya cukup terjal dan panjang, dengan sawah dan jurang di sisi kanan dan kiri jalan. Beruntung kami menggunakan sepeda motor, karena jika menggunakan mobil, sepertinya tidak memungkinkan. Pemandangannya berganti dari sawah dan jurang menjadi tebih dan jurang-jurang yang cukup lebat dengan pepohonan, setelah itu berganti menjadi jurang yang sangat dalam di kedua sisi jalan. Di seberang jurang sebelah kanan terlihat beberapa bagian bukit yang ditambang secara tradisonal. Kerusakan lahan dan potensi longsor sangat terlihat jelas dari sini. Sisi perbukitan yang hijau langsung jelas berubah menjadi lahan tandus karena pertambangan galian tipe C yang masih berlangsung. Di kiri dan kana jurang terdapat aliran Sungai Cikandang yang aliran airnya terbagi menjadi dua aliran. Aliran sungai yang berada di sisi kiri jalan merupakan aliran sungai yang sedikit lebih desar dengan ukuran sungai yang lebih lebar. Aliran sungai inilah yang pada akhirnya menajdi aliran Curug Sanghyang Taraje.



Kondisi jalannya cukup bagus, hanya medannya saja yang sedikit berbahaya, jalan yang sangat sempit dan diapit jurang yang sangat dalam, beberapa titik yang jalannya patah, jalan yang licin karena hjan dan longsoran tebing, serta kabut yang tidak menutup kemingkinan turun dan cukup tebal. Tidak berapa lama dari lokasi kami melihat pertambangan di lereng bukit seberang jurang sisi kanan, di sisi kiri jalan, kami akhirnya melihat Curug Sanghyang Taraje. Curug Sanghyang Taraje yang kami lihat ketika itu alirannya sangat deras tetapi jernih, karena hujan yang turun pada pagi harinya. Beberapa dari kami memanfaatkan untuk mengambil foto, sementara beberapa lagi memilih untuk meneruskan peralanan mencari jalan masuk ke Sanghyang Taraje. Tidak jauh dari tempat kami melihat Curug Sanghyang Taraje, teman kami menemukan satu pos siskamling yang ternyata sekaligus juga merupakan jalan masuk menuju curug.



Kami tiba di pintu masuk sekitar pukul 13.12 siang hari. Cuaca tidak cerah tetapi juga tidak hujan. Kami sedikit bingung karena jalan masuknya hanya beruba jalan setapak dari tanah yang di sisi kirinya langsung jurang an sawah, sementara sisi kanannya tebih yang rawan longsor. Akhirnya dengan sedikit putar otak, ke-5 motor ini digotong dan disimpan di balik pepohonan dan di jejerkan sepanjang jalan masuk yang hanya berupa jalan setapak dari tanah dan tidak lupa menutupnya dengan daun. Kalau diparkir di pinggir jalan, takutnya nanti menghalangi pick up yang memang paling sering dan paling banyak melintas di jalan ini dan takutnya juga motor kami sudah berpindah ke bak mobil pick up. Jarak dari jalan masuk hingga tepat ke depan air terjun dapat ditempuh dengan waktu lima menit berjalan kaki, tetapi jika sedang puncak musim hujan, jalurnya akan sedikit lebih susah karena lumpur. Meskipun hanya liam menit, tetapi jarak pandang dari jalan masuk tidak akan sampai ke depan air terjun, oleh karena itu kami sebenarnya sedikit cemas memarkirkan motor di pinggir jalan dan memilih untuk menggotong motor aga ke dalam. 



Sambil menunggu teman-teman kami selesai menggontong motor, kami pun merapihkan pakaian dan mengeluarkan alat lenong kami, apalagi kalau bukan kamera. Ketika sedang menunggu itulah saya merasa sedikit pusing, rasanya jalan seperti berguncang. Teman saya juga ternyata merasa sama, lagipula guncangan seperti ini bukan akibat dari terlalu lama di atas motor dan melewati jalan sangat jelek terlalu lama, ya, guncangan ini gempa bumi. Getaran gempa yang kami rasakan cukup kencang dan lama, apalgi kami saat ini memang sedang berada di daerah perbukitan dan termasuk zona rawan bencana gempa, karena daerah kami sudah termasuk ke dalam zona Selatan. Setelah gempa mereda dan dirasakan semua aman, tidak ada jalan amblas, tidak ada tebing yang longsor, dan tidak ada jalan yang retak, kami pun bergegas menuju Curug Sanghyang Taraje. Baru juuga tiga langkah kami berjalan, hujan turun, meskipun belum terlalu deras, tapi sangat cukup untuk membuat pakaian kami basah. Jalan menuju aliran sugai cukup sulit dilewati ketika hujan, sama seperti tulisan seorang yang belum lama mengunjungi Curug Sanghyang Taraje. 




Setibanya kami di dekat air terjun, hujan makin deras, untungnya ada satu gubug yang kondisinya memprihatinkan tetapi masih bisa dijadikan tempat berteduh untuk sepuluh orang. Sambil menunggu hujan yang makin lama makin deras, kami makan siang. Makan siang beres, hujan pun reda, meskipun masih sedikit gerimis, tapi karena sudah terlanjur basah, ya sudah, langsung eksplore. Aliran air Curug Sanghyang Taraje cukup deras karena hujan barusan, jadi cipratan airnya juga cukup lumayan untuk semakin basah kuyup. Untuk mengambil foto pun lumyana sulit karena hasil foto akan selalu burem terkena cipratan air terjun. Curug Sanghyang Taraje ini juga merupakan salah satu aliran sungai yang dimafaatkan sebagai PLTMh dengan induknya yaitu aliran Sungai Cikandang. Meskipun habis hujan, tetapi warna aliran airnya tidak berubah menjadi cokelat, tetap bening, artinya lahan di sekitar aliran Sungai Cikandang masih terjaga dari erosi, mengingat posisi Curug Sanghyang Taraje berada pada lokasi sungau stadia muda yang sempurna. Sebenarnya masih ada dua air terjun lagi di sepanjang aliran ini, tetapi sayang, kami tidak sempat mengeksplore sampai ke lokasi dua air terjun tersebut karena medannya yang cukup sulit. 




Puas berfoto-foto narsis, kami pun foto keluarga dengan tema ‘Merah-Putih’ untuk ikut berpartisipasi memperingati Hari Pahlawan dengan cara kami sendiri. Selesai foto, kami harus ganti baju karena akan kembali menempuh rute yang cukup panjang ke Bandung, tetapi, inilah kekurangan dari objek wisata ini, masih sangat minimnya fasilitas pendukung. Tetapi meskipun minim fasilitas, sinyal provider warna kuning ini cukup kencang, terbukti dengan masuknya telepon dari temen dan kami malah sempat ngobrol lama sambil menunggu teman yang lain ganti baju. Minim fasilitas bukan berarti jadi mati gaya, justru membuat kami jadi sedikit kreatif. Berhubung tidak ada fasilitas MCK yang kami butuhkan untuk ganti baju, jadinya kami memanfaatkan semak-semak yang cukup tinggi di dekat tebing dan agak jauh dari gubug tempat kami menyimpan tas. Setelah selesai ganti baju, kami bersiap pulang, hujan sudah reda, hanya tinggal mendungnya saja, berhubung ini juga sudah sore, sudah jam 15.30. Hal pertama yang kami lakukan tentunya menggotong lagi motor-motor kami ke pinggir jalan. Lumayan susah, karena jalan setapaknya sudah penuh lumpur. Setelah susah payah menggotong motor, tantangan kedua adalah kami harus menempuh tanjakan yang cukup berat, malah beberapa dari kami turun karena motornya ga kuat nanjak. Maklum, tanjakan di jalur ini cukup curam dan panjang. Ketika sedang menunggu teman-teman yang turun dari motor, saya bertemu dengan bapak penjual barang kelontong. 



Sedikit obrolan saya dengan beliau, dengan baju yang basah, entah basah karena keringat saja atau bercampur air hujan, yang pasti bapak ini memikul barang dagangan yang cukup berat selama hampir tiga jam lamanya dengan medan yang dominan menanjak. Tujuan bapak ini adalah Pamulihan, dan baru akan menumpang kendaraan ketika sudah tiba di Desa Pakenjeng, kalau tidak ada, terpaksa bermalam atau berjalan kaki sambil menunggu tumpangan. Sebenarnya di belakang bapak ini masih ada dua orang lagi yang berjalan kaki, tetapi berhubung jaraknya cukup jauh dengan saya, jadi saya tidak sempat mengobrol dengan bapak-bapak lainnya. Sesampai di gapura tempat kami melihat ELF Pamulihan, kami berhenti lagi untuk menunggu teman kami yang masih ketinggalan. Perjalanan dari gapura ke perkebunan dekat dengan gapura Desa Pakenjeng sengaja kami percepat mengingat sudah pukul 16.00, kami khawatir jika hujan dan kabut turun, perjalanan kami ke Bandung akan memakan waktu yang cukup lama, sedangkan fisik kami sudah mulai berasa cape. Sambil menunggu teman yang masih di belakang, kami berfoto-foto dulu di desa setelah perkebunan teh. Setelah itu perjalanan diteruskan non stop sampai setelah PLN Sumadra. Di PLN Sumadra saya dan beberapa teman berhenti sejenak untuk mengambil foto pemandangan Gunung Papandayan dengan kabut tebalnya, sementara beberapa teman saya yang lain tetap meneruskan perjalanan. Kami pun meneruskan perjalanan karena sudah hampir Magrib, kami mulai jalan lagi sekitar pukul 17.40. Berhubung Magrib, kami berhenti dulu di Desa Cikandang untuk Shalat Maghrib. Dari pertama berhenti di sekitar PLN Sumadra hingga selesai Shalat Maghrib di Desa Cikandang, kami sudah terbagi menjadi dua kloter dan kami tidak tahu posisi masing-masing. Sedikit cemas, apalagi sinyal hp sedikit jelek di daerah ini juga batre yang sudah hampir hambis. Pukul 18.30 kami mulai jalan lagi, dengan kondisi yang sudah mulai gelap, kami pun menjaga jarak agar tidak terlalu jauh. Untungnya sebelum pergi, teman kami yang terpisah mengabarkan kalau mereka sudah sampai di Cikajang, kami pun segera menyusul dengan tetap menjaga jarak agar tidak terlalu jauh karena sudah mulai gelap. 



Suasana di sepanjang jalan dari Desa Cikandang hingga pertigaan Cikajang selepas Magrib jauh berbeda dengan pada saat siang. Hanya kami dan beberapa motor warga yang melintas di sini, itu pun hanya perjalanan jarak dekat, ELF pun nampak belum terlihat lagi setelah kami berhenti di PLN Sumadra. Setibanya di pertigaan Cikajang, tepat pukul 19.00, niatnya mau makan malam dulu, tetapi tidak jadi karena tidak banyak pilihan makanan, jadi kami memutuskan untuk makan di Kota Garut atau di Leles. Perjalanan Cikajang-Kota Garut hanya kami tempuh dalam waktu 1,5 jam, selain jalannya kosong, kami pun mengejar waktu agar tidak terlalu malam sampai di Bandung, terlebih lagi dengan perut kosong dan kedinginan sepanjang perjalanan. Masuk Kota Garut nampak masih belum ada pilihan tempat untuk makan malam, akhirnya kami memutuskan untuk makan di Leles, di sate depan kantor polisi Leles yang biasa saya dan teman saya beli. Jam 21.00 kami sampai di Leles, ternyata tempat makannya masih penuh, bahkan kami pun memarkir sepeda motor di halaman kantor di belakang tukang sate. Pukul 22.00 kami pulang. Leles – Bandung di hari Sabtu menjelang tengah malam cukup sepi, hanya di Kadungora sampai ke Nagreg saja yang cukup penuh karena jalannya memang menanjak. Selepas Leles entah karena tenaganya full lagi, entah karena ngantuk, atau karena udah malem, kayanya ampir 5 motor ini ngebut semua, walhasil kami semua tiba di Bandung pukul 23.00, hanya 1 jam saja dari yang biasanya 1,5 sampai 2 jam.


Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Silahkan berkomentar, menyanggah, bertanya ataupun ingin berkorespondensi.



Terima kasih

ANDA PENGUNJUNG KE-

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...