Garut yang pernah berjuluk Swiss Van Java di masa kolonial dulu memang seakan menegaskan bahwa ada sebuah "tanah" seperti di dataran Eropa Tengah yang berada di pulau jawa. Gunung-gemunung dan perbukitan menjulang, berudara sejuk, memiliki beberapa danau indah yang menjadikan orang saat itu mungkin mengibaratkan Garut sebagai swiss yang berada di pegunungan alpen. Maka tak dapat dipungkiri pamor Garut cukup melejit di masa kolonial jauh sebelum era kemerdekaan. Sebut saja aktor kenamaan Hollywood era film bisu hitam putih yakni Charlie Chaplin yang pernah dua kali melancong ke Garut tercatat sekitar tahun 1927 dan 1935 yang masuk melalui jalur kereta api tepatnya di Stasiun Cibatu. Lalu beberapa tokoh dunia seperti Perdana Menteri Perancis Georges Clemenceau yang berkunjung sekitar tahun 1920-an, lalu ada pula Raja dari kerajaan Siam (dulu Thailand) Rama V (Chulalongkorn) yang berkunjung ke garut sekitar tahun 1896, yang berkunjung ke beberapa tempat diantaranya Cipanas, Situ Bagendit dan Gunung Papandayan.
Ya, Garut memang tak sesohor seperti dulu, tapi kecantikan panorama alamnya masih bisa dibanggakan. Garut yang dalam lagu Darso (almarhum) diibaratkan sebagai intan, memang perlu "digosok" kembali agar terus berkilau.
Garut Kota intan, Pangirutan.
***
Di penghujung bulan Juni yang basah, menjadi awal perjalanan satubumikita menyusuri sudut lain kota Garut. Kali ini kami mencoba untuk sedikit menyusuri sisi luar kota dodol ini dengan menjejajahi garis pantai di ujung selatannya. Seusai semua kawan yang akan berpartisipasi telah berkumpul di sebuah minimarket di bilangan Terminal Guntur, kami ber-9 bergegas menaiki mobil bak terbuka dan langsung tancap gas menuju titik awal penyusuran yaitu Pantai Rancabuaya. Jumat malam yang dingin dengan angin yang kencang berhembus seolah menemani perjalanan yang masih panjang, diiringi sedikit candaan tuk mencoba mencairkan suasana malam yang semakin dingin. Bulan sepotong dan lamat-lamat kabut yang mulai turun mengiringi deru mesin kendaraan memecah heningnya aspal. Setelah menghabiskan malam dan subuh di bak mobil yang melaju, akhirnya sampailah kami di Pantai Rancabuaya yang menjadi titik awal petualangan kami. Untuk memulihkan tenaga dan kondisi tubuh sebagian dari kami memilih untuk tidur dan beristirahat menunggu pagi.
Deburan ombak selatan yang besar membangunkan tidur singkat kami, matahari terbit yang diidamkan pun tak jua datang. Langit kelabu tak merona membayang. Menurut penuturan warga, ombak di Rancabuaya saat ini memang sedang besar-besarnya, hujan pun setiap hari mengguyur, tapi masih menurut penuturan bapak bersarung tersebut, para pengunjung dan wisatawan banyak yang berkunjung dan tidak terlalu berpengaruh pada okupansi tempat penginapan yang berada di kawasan Rancabuaya.
Pantai Rancabuaya sendiri secara administratif berada di desa Purbayani, Kecamatan Caringin Kabupaten Garut. Pantainya yang sebagian besar merupakan pantai berkarang dan hanya sebagian kecil yang berpasir, pantainya pun tidak terlalu panjang, namun dibeberapa area tertentu panorama yang dapat kita saksikan cukup indah, yaitu di atas bukit.
Setelah berpamitan pada kepala desa yang saungnya dipakai kami istirahat dan semua persiapan selesai dan sarapan, kegiatan penyusuran pun dimulai, kami berjalan ke arah timur menuju sebuah bukit di ujung Rancabuaya. Gerimis mulai berhenti memericik, suasana pantai mulai ramai oleh para warga yang berprofesi sebagai nelayan, keluarga yang berwisata dan orang-orang yang berbasah-basahan ria menikmati suasana Rancabuaya di hari Sabtu itu. Suasana negeri yang karut marut dan kenaikan harga bbm mungkin di coba untuk diredam walaupun memang terasa berat dan tidak harus untuk diratapi.
Rencananya hari itu kami akan menyusuri pantai hingga titik selanjutnya ke Puncak Guha. Seusai sampai di ujung Rancabuaya sebelah timur, ternyata kami harus melambung dan melipir jalan di tengah padang rumpu yang luas ke sebuah bukit. Ya itulah yang tadi disebutkan bahwa titik tertinggi dibukit ini menjadi sebuah spot yang bagus untuk menikmati pantai dan laut lepas yang biru kehijauan. Ombak selatan memang besar, berdebur, berbuih, indah. Mentari mulai menyiangi hari, terik pun tak terhindarkan. Sapi-sapi yang tanpa gembala dan dilepaskan begitu saja di padang rumput oleh pemiliknya seakan menjadi penghuni padang rumput ini dan hanya bisa nyengir saat kami lewat. Dan ini masih perjalanan awal.
Seusai melewati padang rumput, kami mulai menjauh dari garis pantai dan mulai memasuki kawasan penduduk. Garis pantai memang tak bisa dilewati karena tebing yang tegak lurus dan ombak besar yang menghantam. Kami pun kembali berjalan di jalan utama desa yang saat itu sedang diperbaiki. Jalan menuju dan dari Rancabauaya dari arah garut memang terbilang setengah bagus dan setengan hancur, di sebagian titik mulus beraspal tapi di titik lain berkubang dan berlubang memanganga.
Setelah sekitar 1 jam berjalan di jalan utama desa, kami pun sampai di sekitaran daerah yang termasuk Cijayanti.menumpang Truk Tentara yang melintas ke arah Garut. Kami pun memutuskan untuk tidak jadi berkunjung ke Puncak Guha dan langsung menuju Pantai Santolo. Bisa dibilang kami menghemat waktu dan tenaga yang cukup banyak, perjalanan dalam truk sendiri memakan waktu sekitar 1 jam lebih. Terima kasih kepada bapak-bapak dari KOSTRAD Cikajang yang sudah memberi tumpangan. Garis pantai yang kami lihat dari dalam truk memang cukup panjang dan terlihat banyak muara-muara sungai yang melintas, sawah-sawah pun sebagian terhampar di sisi pantai dan laut. Di kawasan Cijayanti dan Purbayani memang sangat banyak terdapat objek-objek wisata pantai yang butuh waktu cukup banyak untuk mengunjunginya satu per satu , selain Pantai Rancabuaya dan Puncak Guha.
***
Sekitar pukul 12:30, sampailah kami di Pantai Santolo. Setelah sebelumnya turun dari truk tentara di simpang santolo dan meneruskan kembali berjalan kaki menuju Santolo. Angin yang berhembus segar sepertinya mencoba untuk menghalau panas yang begitu terik. Pasir putih dan deburan ombak seakan menyambut kedatangan kami. Setelah melepas lelah, kami pun tergoda untuk bermain air dan bercengkrama dengan ombak santolo yang tidak begitu besar dan ganas dibanding Rancabuaya. Pantai Santolo masih berada di pesisir selatan Garut dan termasuk kedalam kecamatan Cikelet, dengan garis pantai sekitar 2km.
Seusai memasak dan beristirahat di pinggir pantai, perjalanan penyusuran kembali berlanjut menuju arah timur Santolo. Senja hari mulai menggelayut, suasana pantai cukup ramai dengan aktivitas para nelayan dan wisatawan yang maih asyik bermain air dan mungkin menunggu momen matahari tenggelam. Kami berjalan menuju batas muara sungai antara Santolo dan Sayang Heulang. Tujuan terakhir kami adalah Pantai Sayang Heulang. Kami tinggal menyebrang menggunakan rakit dan berjalan kaki sebetar untuk samapai di Sayang Heulang yang bersebelahan dengan Santolo. Matahari tenggelam seolah tak ingin kami saksikan, awan kelabu kembali menyergap di senja kala, hanya semburat jingga menguning bergradasai dengan temaramnya air laut dan deburan alunan ombak selatan.
Sang surya mulai kembali ke peraduannya, dan cahaya bulan mulai menggantikannya. Bintang gemintang pun tidak malu menampakkan diri, ahh Tuhan memang baik menciptakan semesta beserta isinya. Ikan hasil tangkapan nelayan yang kami beli di pelelangan ikan di Santolo mulai kami bakar dengan bumbu pala, kecap dan mentega. Api kayu bakar memcoba menghangatkan kami yang mulai kedinginan oleh angin selatan. Tak terasa kami setelah menyantap menu makan malam yang nikmat, kami terlelap tidur dan terbangun di subuh hari yang masih temaram.
Panorama Sayang Heulang di pagi hari memang indah. Mentari mengintip dari balik awan, jingga menyeruak ke penjuru langit. Sayang Heulang bisa dikatakan merupakan percampuran antara pantai berkarang dan berpasir putih, serta garis pantainya yang panjang. Pantai "Sarang Burung Elang" ini menjadi tempat terakhir kami sebelum pulang ke Bandung. Menu sarapan di hari terakhir pun agak spesial yaitu kepala kakap sisa semalam dengan bumbu santan. Keindahan panorama yang dibalut kebersamaan memang cukup berkesan. Seusai berkemas dan bersiap-siap penyusuran kembali dimulai dan menjadi hari terakhir menyusuri pesisir Garut Selatan. (Taufik/satubumikita)***
Sampai jumpa lagi kawan dan alam.
Susur pantai Garut Selatan, 28 - 30 Juni 2013 :
- Marlindia Ike
- Lia Selfia
- Rani Ratnasari
- Nuraeni Joty
- Ainurrahma Salsabila
- Tika
- Nur Septiadi
- Gustaf Ridwan Munandar
- Taufik Hidayat
tags: susur pantai, susur pantai garut, susur pantai garut selatan, jurnal susur pantai, rute susur pantai, pantai rancabuaya, santolo, sayang heulang, komunitas satubumikita, adventure, hiking, trekking, bandung, pameungpeuk
wah..... keren ekspedisi Garis Pantai Selatan Jawa barat.... :) lain kali boleh di coba,,,, salam perjalanan sepanjang hayat..
BalasHapussaya lagi menysuri Pulau Sumatera sekalian pulang Kampung...
salam juga, semoga selamat & menyenangkan mudiknya bang :)
Hapustrims
keren euy, susur pantai garut selatan jalan kaki bukan touring motor.
BalasHapusMantappp kang... coba telusuri ke sebelah timur.. ada Pantai Karang Paranje, Pantai Cijeruk indah dan Sancang.. gak kalah keren... wilujeng kenal oge kang
BalasHapusMantappp kang... coba telusuri ke sebelah timur.. ada Pantai Karang Paranje, Pantai Cijeruk indah dan Sancang.. gak kalah keren... wilujeng kenal oge kang
BalasHapussiap kang kalo ada waktu lg ;)
Hapusnuhun.
waaaah indahnyaaaa...
BalasHapuswwwhhh ternyata garut menyimpan banyak sekali pantai-pantai yang keren-keren.....
BalasHapusiya betul sekali mba :)
Hapusajak - ajak kami dong sebagai pemandu gratis...biar tamabh rekan aja hehe..by .penginapan karanglaut ..santolo sayangheulang hp 082129705000.........kag dani
BalasHapussiap kang.. Nuhun ;)
Hapus