Pagi yang segar dan cukup dingin
menyapa kami yang mulai terjaga dari tidur yang cukup lelap. Tubuh yang
lelah sepertinya membuat kami terlelap tidur dalam dekapan sleeping
bag yang hangat. Di hadapan tenda kami, terhampar Ranu Kumbolo, danau
yang sedari malam keindahannya tak dapat langsung kami nikmati. Suasana
Ranu Kumbolo saat itu tak begitu ramai, hanya ada 3 tenda selain kami
yang berada di sekitar kami. Seperti biasa, setelah mengumpulkan nyawa
yang tercecer, prosesi pagi yang mengasyikan dimulai yaitu,
masak-memasak.
Pagi itu, yang menjadi koki kita yaitu saudara Iwonk dan bung Gustaf, menu masakan yang dimasak adalah Sup sayur wortel, kentang, kol dan beberapa tumisan serta makanan yang kami bawa sebelumnya. Makan pagi yang nikmat di naungi langit biru di hadapan danau yang tenang, di antara bukit-bukit kecil yang berjejer.Seusai, makan pagi yang nikmat, kurang afdol rasanya tak mengabadaikan keindahan alam sekitar danau.
Pagi itu, yang menjadi koki kita yaitu saudara Iwonk dan bung Gustaf, menu masakan yang dimasak adalah Sup sayur wortel, kentang, kol dan beberapa tumisan serta makanan yang kami bawa sebelumnya. Makan pagi yang nikmat di naungi langit biru di hadapan danau yang tenang, di antara bukit-bukit kecil yang berjejer.Seusai, makan pagi yang nikmat, kurang afdol rasanya tak mengabadaikan keindahan alam sekitar danau.
Ranu Kumbolo
Menurut beberapa sumber,
Ranu Kumbolo terbentuk dari letusan Gunung Bajangan yang berada di
bawah Puncak Mahameru. Aliran lava dan material letusan membentuk
lembahan yang cukup besar sehingga membentuk danau.
Ranu Kumbolo |
Di area Ranu Kumbolo terdapat satu prasasti yang diperkirakan
dikeluarkan pada zaman Kerajaan Kadiri. Prasasti tersebut berbunyi “Mpu Kameswara Tirtayasa”
yang menggunakan bahasa jawa kuno masa Kadiri. Letak prasasti tersebut menghadap ke Ranu Kumbolo dengan
tulisan membelakangi Danau. Prasasti ini dikeluarkan oleh raja Kameswara
atau raja Bameswara yang merupakan raja kerajaan Khadiri. Prasasti
tersebut berfungsi sebagai tanda fungsi danau sebagai air suci, bukan
menghadap ke Puncak Mahameru. Terdapat enam prasasti yang dikeluarkan
oleh Raja Bamsewara dan telah diartikan yaitu prasasti Padlegan 1038
Saka (1117 Masehi), prasasi panumbang tahun 1042 Saka (1120 Masehi),
prasasti Geneng tahun 1050 Saka (1128 Masehi), Prasasti Candi Tuban
tahun 1051 Saka (1124 Masehi) dan prasasti Tangkiln tahun 1025 Saka
(1130 Masehi). Seluruh prasasti masa Raja Bameswara tersebut dapat
dilihat masa berkuasanya Raja Bameswara sekitar tahun 1117 Masehi-1130
Masehi. Sehingga dapat diperkirakan prasasti Ranu Kumbolo dikeluarkan
sekitar tahun tersebut.
Batu Prasasti, Foto : kompasiana* |
Menurut beberapa pendapat mengatakan bahwa fungsi dari Ranu Kumbolo
adalah sebagai tempat bersemedi bagi Raja Bameswara. Keberadaan danau
Ranu Kumbolo yang merupakan tempat mandi para dewa, dijadikan sebagai
air suci Gunung Semeru. Keterkaitan tersebut yang menjadi dasar
pendapat bahwa di Ranu Kumbolo dijadikan tempat semedi Raja Bameswara.
Prasasti Ranu Kumbolo merekam jejak Kerajaan Kadiri yang telah
melakukan perjalanan dan menandai daerah kekuasaannya jauh ke tanah
yang mempunyai ketinggian 2.400 mdpl. Rute perjalanan Raja Bameswara
dimulai melalui jalur lama, bukan melalui jalur pendakian Gunung Semeru
pada saat ini via Desa Ranu Pane. Namun perjalanan Raja Bameswara via
Desa Gubuk Klakah yang terdapat sebuah candi di desa tersebut sebagai
gerbang menuju tempat suci Gunung Semeru. [1]
Tanjakan Cinta
Setelah berkemas, perjalanan kembali berlanjut untuk menuju pos berkemah di Kalimati. Sebelum benar-benar memulai perjalanan, beberapa ransel dan barang-barang yang tidak digunakan saat pendakian (summit attack) kami titipkan kepada rekan dari jakarta yang memilih bermalam di Ranu Kumbolo. Trek di depan sudah menanti kami sebuah jalur menanjak di antara dua bukit. Konon, bila kita berjalan terus tanpa menoleh kebelakang dan sampai di tanjakan tersebut tanpa berhenti maka cinta kita akan berakhir bahagia. Mitos tersebut menurut beberapa cerita yang menjadikan tanjakan tersebut diberi nama "Tanjakan Cinta" dikarenakan terdapat cerita yang beredar di kalangan pendaki
yang menyebutkan bahwa ada tragedi yang melibatkan pasangan yang sedang
jatuh cinta dan berakhir dengan kematian. Konon, si pria melewati
tanjakan tersebut lebih dulu. Sementara si wanita kepayahan menaiki
tanjakan itu, sedang sang pria yang sudah sampai hanya melihat dari
atas. Naas, pasangany a tersebut ini tiba-tiba pingsan dan jatuh
terguling ke bawah, kemudian tewas. Ya, entahlah apakah cerita tersebut
benar adanya atau hanya isapan jempol. [2]. Untuk menuju titik henti
di Kalimati dari Ranu Kumbolo kami harus berjalan dengan waktu tempuh
sekitar 3 jam.
Tanjakan Cinta |
Oro-oro Ombo dan Cemoro Kandang
Selepas melewati tanjakan cinta, kami pun melewati jalur yang biasa
di sebut Oro-Oro Ombo. Oro-oro ombo adalah sebuah padang savana yang
cukup luas yang dikelilingi bukit-bukit nan indah. Saat itu, kawasan
oro-oro ombo yang dominan warna coklat, mungkin karena savana yang
terbakar oleh sengatan matahari musim kemarau. Seusai melewati oro-oro
ombo, vegetasi mulai berubah, kami mulai memasuki daerah yang biasa
disebut dengan "Cemoro Kandang", sebuah vegetasi yang bayak ditumbuhi
Pohon Cemara gunung. Jalur yang tadinya panas menyengat sekarang cukup
sejuk karena tertutupi oleh pohon-pohon cemara yang memayungi.
Oro-oro Ombo |
Perjalanan menuju Kalimati ternyata cukup jauh, tapi jalur-jalur
pendakian cukup jelas dan banyak rambu serta petunjuk jalan di
sepanjang jalur yang kami lalui. Bagi pemula yang baru pertama mendaki
Gunung Semeru, sepertinya tidak perlu khawatir soal tersesat di jalur,
bila kita mematuhi rambu-rambu dan mengikuti jalur yang ada, bis
dipastikan kita tidak akan tersesat. Panas terik yang sedari tadi
menemani kini berubah menjadi rintik hujan, anomali cuaca yang cepat
berubah di kawasan semeru membuat kami harus ekstra persiapan,
kadang-kadang pans terik, beberapa detik kemudian bisa saja cuaca
berubah drastis menajdi sangat dingin, hujan dan berkabut tebal.
Kondisi fisik dan bekal makanan serta minum pun harus diperhatikan agar
tidak kekurangan saat perjalanan.
Kalimati dan Sumber Mani
Setelah berjalan sekitar 2 jam, kami baru sampai di pos Jambangan,
vegetasi mulai berubah kembali menjadi area tumbuhnya bunga Edelweis.
Tak jauh dari Jambangan, akhirnya kami pun sampai di Pos Kalimati yang
berada diketinggian sekitar 2.700 Mdpl. Kabut tebal mulai turun dan
cukup menyulitkan pandangan, karena jarak pandang cukup terbatas. Kabut
tebal yang datang kadang secara tiba-tiba memang harus diwaspadai,
karena bisa membuat salah jalur, dan untuk mengantisipasinya yaitu
lebih baik kita berdiam sejenak di tempat menunggu kabut pergi.
Jalur menuju Sumber mani |
Sore hari sekitar pukul 15.30, kami baru sampai Kalimati, di sana sudah banyak para pendaki yang menggelar tenda untuk summit attack
menuju Mahameru di dini hari nanti. Saya agak sedikit berspekulasi dan
menduga, kenapa kawasan tersebut dinamai kalimati, mungkin karena
dikawasan tersebut dulunya ada sebuah sungai (kali) dan kemudian kering
(mati), dan memang sebelum menuju pos kalimati terdapat sebuah jalur
yang seperti sungai kering. Dan yang menjadi pertanyaan, apa
penyebab sungai tersebut kering? Hmm.
Sebelum mendaki menuju puncak (Mahameru), persiapan fisik dan
logistik perbekalan harus dipersiapkan di kalimati. Untuk urusan air,
pos kalimati merupakan pos terakhir adanya sumber air, itupun harus
ditempuh dengan berjalan sekitar 20 menit. Sumber air tersebut diberi
nama Sumber Mani, sebuah sumber air yang berasal dari rembesan air
tanah dan pohon yang di alirkan melalui seng. Terdapat 2 sumber yang
dialirkan, air tersebut sangat dingin seperti air es dan sangat
menyagarkan. Untuk pengambilan air sendiri, menurut para pendaki yang
sudah sering ke Semeru, jangan melewati dari pukul sekitar16.00,
menurut kabar karena adanya binatang karnivora seperti macan yang
keluar di kawasan tersebut.
***
Arcopodo, 2 arca di ketinggian Jalur Semeru
Kamis Dinihari, pukul 01:00. Perjalanan menuju puncak tanah Jawa
yang sesungguhnya pun dimulai, bertolak dinihari dari Kalimati, kami
bergegas berjalan beriringan dengan rombongan lainnya. Gelap, dingin
dan angin kencang menyapa awal perjalanan kami, berteman senter dan headlamp kami
berjalan menembus vegetasi hutan hujan yang lembab. Butuh sekitar 6
jam untuk sampai menuju sang Mahameru, di pertengahan jalan terdapat
sebuah pos bernama Arcopodo atau Arcapadha.
Arca di arcopodo, Foto : Kompasiana* |
Arcopodo dalam bahasa Jawa Kuno berarti Archa = arca dan Padha =
tempat, yang bisa artikan Tempat Arca. Arca tersebut berpasangan, dan bisa jadi merupakan arca tertinggi di Pulau Jawa
yang terletak pada ketinggian sekitar 3.002 Mdpl. Saat kami sampai di pos
Arcopodo memang tak kami temui arca apapun, yang ada hanya sebidang
tanah seluas lapangan badminton yang dikelilingi pohon cemara, semak
dan jurang. Arca tersebut menurut sebuah tulisan di blog kompasiana dan
publikasi Norman Edwin sekitar tahun 1984 keberadaan Arca tersebut
memang ada. Masih mengutip keterangan dari Blog di Kompasiana, diduga
salah satu arca merupakan arca Bima yang merupakan perwujudan Siwa
sebagai simbol penolak bala, dalam hal ini adalah untuk menolak amarah
Gunung Semeru. Sepasang arca ini tepat menghadap ke utara, sehingga
apabila kita menghadap ke arca tersebut pandangan kita juga akan tepat
mengarah ke Puncak Mahameru. Walaupun arca ini sulit diakses, masyarakat
Hindu Tengger masih rutin bersembahyang di situs ini. [3]
Selepas beristirahat sejenak di Arcopodo, perjalanan dinihari kami
lanjut kembali. Jalur yang sedari tadi berupa tanah padat kini berganti
menjadi tanah lunak bekas aliran material dari Gunung Semeru. Bisa
jadi jalur ini adalah klimaks dari jalur pendakian Semeru. Ya, jalur
yang memiliki kemiringan yang cukup menyulitkan dan menguras energi di
pagi buta. Kami harus cukup berjuang ekstra dibanding dengan jalur
sebelumnya, selain tanah yang labil, batu-batu sisa erupsi patutnya
diwaspadai. Jalur berpasir ini harus kita lalui untuk mencapai Puncak
Mahameru. Udara di pagi buta yang dingin, dan hembusan angin kencang
seolah menjadi teman perjalanan kami. Selepas berjalan sekitar 4 jam,
langit mulai berwarna jingga, semburat sinar mentari mulai menyapa bumi
dan para anak manusia. Indahnya batas horison jingga sedikit mengobati
rasa lelah kami.
***
Legenda Gunung Semeru
Menurut kepercayaan masyarakat Jawa yang ditulis pada kitab kuna
Tantu Pagelaran yang berasal dari abad ke-15, pada dahulu kala Pulau
Jawa mengambang di lautan luas, terombang-ambing dan senantiasa
berguncang. Para Dewa memutuskan untuk memakukan Pulau Jawa dengan cara
memindahkan Gunung Meru di India ke atas Pulau Jawa.
Dewa Wisnu menjelma menjadi seekor kura-kura raksasa menggendong
gunung itu dipunggungnya, sementara Dewa Brahma menjelma menjadi ular
panjang yang membelitkan tubuhnya pada gunung dan badan kura-kura
sehingga gunung itu dapat diangkut dengan aman.
Dewa-Dewa tersebut meletakkan gunung itu di atas bagian pertama pulau
yang mereka temui, yaitu di bagian barat Pulau Jawa. Tetapi berat
gunung itu mengakibatkan ujung pulau bagian timur terangkat ke atas.
Kemudian mereka memindahkannya ke bagian timur pulau Jawa. Ketika gunung
Meru dibawa ke timur, serpihan gunung Meru yang tercecer menciptakan
jajaran pegunungan di pulau Jawa yang memanjang dari barat ke timur.
Akan tetapi ketika puncak Meru dipindahkan ke timur, pulau Jawa masih
tetap miring, sehingga para dewa memutuskan untuk memotong sebagian dari
gunung itu dan menempatkannya di bagian barat laut. Penggalan ini
membentuk Gunung Pawitra, yang sekarang dikenal dengan nama Gunung
Pananggungan, dan bagian utama dari Gunung Meru, tempat bersemayam Dewa
Shiwa, sekarang dikenal dengan nama Gunung Semeru. [4]
***
Sang Mahamareu,
Setelah berjuang sekitar 6 jam, akhirnya saya dan beberapa teman
lainnya dapat pula menggapai Mahameru yang menjadi idaman para pegiat
alam khususnya para pendaki. Ya, Mahameru menjadi tempat menghembuskan
nafas terakhir seorang idola para petualang, Soe Hok Gie.
Puncak Mahameru sendiri berada di ketinggian sekitar 3.676 Mdpl,
berupa tanah lapang seluas 2 kali ukuran lapangan voli. Disana tidak
terdapat triangulasi hanya terdapat patok plat salah sau organisasi
berbendera Merah putih serta beberapa plakat mengenang pendaki yang
wafat di Puncak Mahameru. Gumpalan awan dan gunung sekeliling Semeru
seperti pergunungan tengger dan Bromo dapat terlihat dengan cukup jelas
bila cuaca sedang cerah dan bagus, udara serta angin memang sangat
kencang berhembus yang membuat
kelembaban di sana cukup tinggi.
Kami pun tak boleh terlalu berlama-lama di puncak, selepas sekitar
pukul 09.00 para pendaki sudah harus turun karena adanya tiupan angin
yang membawa gas beracun menuju Mahameru. Keindahan di puncak tanah
jawa terhampar luas, bagai singgasana para dewa.
"Puncak bukanlah sebuah tujuan utama, karena perjuangan menuju puncak
tersebutlah yang cukup menarik dan penuh dengan cerita serta
pelajaran, puncak ibarat sebuah bonus pencapaian perjuangan..." (Taufik/satubumikita)***
Berkibarlah benderaku |
Terima kasih
salam satubumikita
***
Catatan Kaki :
[1] http://sejarah.kompasiana.com/2012/09/07/jejak-kerajaan-khadiri-di-gunung-semeru/
[2] http://himpalaunas.com/artikel/jejak/2010/07/05/tanjakan-cinta-di-ranu-kumbolo-mitosnya-lahir-dari-tragedi
[3] http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2012/04/06/menyibak-misteri-arcopodo-gunung-semeru-452136.html
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Semeru
Tags: catper semeru, catatan mahameru, gunung semeru, jurnal semeru, catper gunung, cerita semeru, pendakian gunung semeru, bandung-semeru, ranu kumbolo, oro-oro ombo, sejarah arcopodo, sejarah semeru, legenda semeru, catper seru semeru, asyik semeru, gunung semeru malang
seru bgt baca catatan perjalanan ke gn. semeru, tmpt2ny sama kaya film 5cm..hehe.. Baca jurnal ni nambah ilmu jga cos lngkp dijlasin sjarah n legendanya..thanx min,keep posting eeaa.. :)
BalasHapussiip.. mksh juga udah simak jurnal satubumikita :)
Hapus