Januari 2017
Oleh : Moch Khaerul Anwar (Derull)
Pagi
hari benar menjelang shubuh saya sudah harus siap-siap pergi ke bandara. Hari
itu selasa, tanggal 10 Januari 2017 sekitar jam tiga pagi pergi dari Bekasi.
Karena takut terlambat, sore sebelumnya saya berangkat dari Bandung dan numpang
menginap di rumah kakak saya di Bekasi. Lama perjalanan kira-kira 1 jam, dan
tibalah di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng Tangerang/Jakarta Indonesia.
Segera saya masuk ke dalam bandara untuk cepat-cepat check-in. Tiket pesawat
sudah dibeli online, tertanda penerbangan pukul 05.00 WIB. Waktu menunjukkan
angka empat lebih, di tempat check-in ternyata sudah pada ngantri termasuk
teller check-in pesawat yang akan saya tumpangi. Spechless. Kaget. Pas giliran
saya sang teller memberitahukan check-in saya “negatif”. Sudah tutup katanya.
Padahal saya lihat jam masih setengah jam lagi. Artinya 30 menit menuju
keberangkatan. Sudah boarding, sudah sistemlah, ini itulah, begitulah
penjelasan si teller sebut saja maskapai Li*n A*r. Astaghfirullah..makin campur
deh nih perasaan.
Di
depan saya dengan tujuan sama, kok masih bisa? Nyeuseuknya nih dada. Saya ini
bukan pertama kalinya naik pesawat, saya pernah alami, memperhatikan
orang-orang di maskapai lain yang pernah kejadian seperti ini mepet-mepet waktu
penerbangan. Bisa-bisa saja. Dan jeda waktunya 30 menit saya pikir masih lama.
Juga tidak ada pemberitahuan dari pihak maskapai bahwa check-in mau
habis/tutup. Kok ini??? Hadeuh. Disuruhlah saya menemui customer service Li*n
A*r. Ternyata di depan tempat CS-nya, ada banyak juga yang kejadian sama persis
saya alami. Dengan tujuan berbeda. Banyak, karena lebih dari 2 orang. Ada yang
sambil marah-marah, meminta kejelasan. Minta ganti rugi. Begitupun dengan saya
sendiri, ya kesel lah.. Nih ujarnya harus beli tiket ulang lagi bayar 90% saja,
ya dipikir sama beli tiket baru-lah. Muncullah pikiran buruk saya, ini
permainan atau gimana?! Untung di-eloe rugi di-gue. Berapa coba untungnya dari
kejadian-kejadian seperti ini?.
Tadinya
sih mau beli baru lagi. Mungkin ini memang kesalahan saya. Terlambat. Ya
dipikir-pikir sayang duit juga. Susah cari duit itu. Dengan bantuan kakak saya,
urus punya urus saling argumen cukup lama. Alhamdulillaah..akhirnya bisa
mendapat tiket kembali tanpa biaya serupiah pun. Hanya saja keberangkatan jadi
sore hari, jadwal, janji, jadi re-schedule. Halah… Begini nih kalau naik
pesawat delay, dan atau ada masalah gagal terbang di waktu yang sudah
ditentukan, kalau pindah jam/hari terbang kan jadi masalah. Saya mengambil
hikmahnya saja, kalau check-in jangan mepet-mepet lagi, paling tidak 1-2 jam
sudah di bandara. Tercantum sih di struk tiket pesawat. Lebih baik nongkrong
lama di bandara. Dan saya pun harus menunggu sampai sore hari di bandara.
Saya
sudah berada di dalam pesawat berlogo kepala singa ini. Maunya penerbangan
pagi/siang ingin melihat penampakkan bumi Indonesia di atas ketinggian.
Heuu..karena kejadian itu yaah penerbangan malam lagi. Gelap. Ada kejadian
cukup shock lagi pertama menjadi penumpang pesawat berdominasi warna merah ini.
Selepas take-off, sehabis beberapa menit. Suara pesawat berisik banget, sangat
terasa guncangan. Mungkin sudah biasa bagi sebagian penumpang lain. Bagiku
tidak biasa. Kebetulan posisi duduk saya berada di muka jendela, nampak sayap
pesawat pas di samping. Tiba saja awan gelap. Sayap pesawat pun tidak terlihat
lagi. Suara guncangan makin terasa. Belasan detik ada peristiwa ini. Dan
langsung terhenyak, sepertinya pesawat mencoba menembus kabut awan hitam karena
diakhiri dengan pesawat yang turun beberapa feet. Rasanya seperti naik
mobil/motor saat menuruni jalan turunan tajam sekaligus (pudunan orang sunda
mah). Begitulah rasanya. Bahkan penumpang di seberang duduk saya ada yang
berdiri saling pegangan (sama keluarganya mungkin) sambil baca-bacain doa/ayat
al-quran. Terdengar pula dari penumpang lain. Huuft.. keringat dingin pokoknya.
Jeda. Alhamdulillaah.. pesawat kembali stabil. Penerbangan dilanjutkan.
Sampailah
diri dan jiwaku ini di Tanah Rencong, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Banda Aceh
negeri dengan julukan Kota Serambi Mekkah. Hampir jam 22.00 kaki ini
menginjakkan di bandara yang diberi nama Bandara Sultan Iskandar Muda. Sejak
bandara direnovasi ulang dan daya tampungnya diperluas, kini bandara ini bisa
melayani penerbangan internasional maupun nasional. Penerbangan terlama yang
pernah saya alami, 3 jam lebih berada di ketinggian 30.000 kaki plus. Dari
Pulau Jawa ke Ujung Barat Indonesia, Ujung Pulau Sumatera. Yakni Banda Aceh.
Keluar dari bandara, datanglah para pengemudi taksi menawarkan angkutan. Silih
berganti orang, bergiliran. Janjian kali ya.. Mulai deh merasa risih, ya
walapun pada ramah dan nggak memaksa. Karena banyak pertanyaan sana-sini jadi
pusing nih kepala. Hahaa..
Pasang
muka yang biasa-biasa saja seolah bukan pertama kalinya datang ke Aceh. Katakan
saja; sudah ada teman/kawan yang jemput, nunggu teman bilang aja dengan tegas.
Mereka pun mulai putus harapan juga kan. Menjauh. Karena waktu sudah malam
hari, kendaraan umum tidak ada lagi. Ternyata angkutan bus bandara ke kota
sudah tidak beroperasi lagi. Makanya banyak sopir angkutan taksi yang stanby di
lobi kedatangan penumpang. Taksi ini bukan semacam taksi mobil sedan yaa.. tapi
mobil pribadi, plat hitam. Di Aceh mereka memberi namanya taksi. Seusai shalat,
saya putuskan tidur di mushalla bandara. Sambil menunggu teman esok pagi
sampai.
Teman
saya ini dia terbang dari Jakarta, Indonesia ke Kuala Lumpur, Malaysia dulu,
lanjut ke Banda Aceh, Indonesia. Katanya sih lebih murah. Beberapa minggu lalu
dapat referensi teman juga saat cari tiket pesawat katanya kalau mau lebih
murah ke Malaysia dulu. Mungkin ini bisa dijadikan alternatif bagi anda yang
mau berkunjung ke Aceh. Ahh.. sayang sekali saya belum punya passport. Hehee..
Tiket pesawat Jakarta-Banda Aceh lumayan lhoo.. Di bandara semakin malam
semakin sepi sekali. Hening. Istirahat, cukup untuk melemaskan badan yang
pegel-pegel ini. Menjelang shubuh ramai kembali orang-orang hilir mudik ke
mushalla, calon penumpang. Jadwal penerbangan pertama. Penjaga mushalla datang
kembali untuk membersihkan toilet, tempat wudhu, dan sapu menyapu di sekitaran
mushalla.
Teman
saya itu ternyata sudah keluar bandara, hp nya lowbat jadi tidak mengabari,
setelah saya hubungi. Saya langsung menghampirinya. Dia berada di salah satu mini
market. Kalau di dalam riweuh katanya. Yaa di sini aja. Dia berasal dari
bandung juga. Namanya August Ramdan. Kami belum penah bertemu dan belum saling
kenal. Kami hanya mulai kenal via medsos. Saya mencari info tentang Aceh dan
Pulau Weh, Sabang di grup facebook, twitter, ataupun blog-blog mengenai itu.
Postinglah saya di grup facebook Aceh Backpacker. Tanya ini itu, karena waktu
itu saya memutuskan untuk jalan sendiri. Nampaklah di postingan yang sama-sama
mau jelajah Pulau Weh, Sabang khususnya. Singkat cerita kami bertiga sepakat
janjian di Banda Aceh. Satu lagi orang Tebing Tinggi. Adminnya cukup responsif
yaa.. beberapa anggota juga dengan senang hati saling tukar info. Terima kasih
banyak ya..
Dapatlah
kita sepakat untuk naik angkutan taksi menuju Pelabuhan Ulee Lheue. Nego dikit.
Dapat harga yang sama-sama ikhlas-lah. Hihiii.. Lumayan. Teman orang Tebing
Tinggi itu (Asra Idriyansyah) sudah berada duluan sampai di pelabuhan. Mobil
taksi ini menempuh hanya 1 jam saja untuk sampai ke pelabuhan. Padahal kalau
dilihat di peta ujung ke ujung. Di dalam perjalanan, kota yang dihantam bencana
dahsyat ini pada tahun 2004 lalu ya beginilah.. Kotanya seperti ini, jangan
berpikir kalau kota banyak gedung-gedung tinggi seumpama kota Jakarta. Ucap
abang taksi, gak ada di sini bangunan-bangunan yang melebihi menara masjid.
Jalanan yang kami lalui bebas macet, lancar jaya. Bangunan-bangunan pinggir
jalan, pemukiman warga, tanahnya masih banyak yang kosong. Suasananya langsung
terasa nyaman, adeum. Sedang musim hujan katanya. Jadi sedikit tidak terlalu
panas. Terlihat beberapa becak motor berpapasan. Di Aceh tidak ada angkutan
umum semacam mobil angkot kalau di Jawa.
Tunggu
saya melihat, merasakan, mencicipi lebih dekat lagi yaa.. Ungkap saya dalam
hati sembari menikmati perjalanan. Tiba di pelabuhan sudah disambut Pantai Ulee
Lheue, kami bertiga komplit. Kami masing-masing belum ada yang pernah saling
bertemu, jadi benar-benar kenalan di medsos dan bertatap muka sekarang ini.
Jadwal kapal feri keberangkatan pagi sudah lewat. Sambil menunggu jadwal
keberangkatan sore hari kami berkeliling pelabuhan, menuju pantai. Pelabuhan
ini satu-satunya pelabuhan penumpang untuk menyeberang ke Pulau Weh, Sabang.
Sebetulnya pihak pelabuhan menyediakan kapal cepat dan kapal lambat. Kapal
cepat lebih banyak jadwal pulang perginya. Otomatis biaya lebih mahal.
Sedangkan kapal lambat (Kapal Feri) transportasi umum laut ini menjadi pilihan
banyak penumpang, selain karena biaya yang murah, anda juga bisa menikmati
udara laut, perairannya, segala rupa-rupa yang ada di laut. Sehari hanya 2-3
kali.
Kapal
Feri berlayar mengarungi lautan Samudera Hindia. Kapal ini menghabiskan
waktunya sekitar 1 jam setengah untuk bisa sampai di Pulau Weh sana. Kami telah
duduk manis di atas kapal. Penumpang tidak terlalu berdesakan. Weekday mungkin.
Menikmati air laut, gugusan pulau dari kejauhan, langit cerah lagi terik
matahari. Kami tidak mendapati ikan lumba-lumba sepanjang perjalanan
sebagaimana beberapa orang bilang di Pelabuhan Ulee Lheue dan beberapa blog.
Kurang beruntung. Untuk saya ini ketiga kalinya naik kapal feri. Terik matahari
kayaknya tidak berlaku, jadi asoy melendoy ditemani lagu-lagu khas aceh dari
suara sound kapal. Membuat pelayaran ini jadi tidak membosankan.
Berada
di lautan Samudera Hindia yang terhubung langsung dengan Selat Malaka ini,
seakan masuk pada berabad-abad lalu. Masa kerajaan, masa kolonial masa
penjajahan. Zaman dimana jalur perairan ini sangatlah penting bagi kelangsungan
hidup manusia kerajaan/bangsa-bangsa saat itu. Bahkan ada pepatah jika bisa
menguasai jalur perairan ini sejahteralah. Apalagi dengan kekayaan sumber
alamnya, Pulau Weh, Sumatera, semakin menarik minat para pelaut-penjelajah.
Kapal-kapal perdagangan internasional hilir mudik masuk ke wilayah ini. Untuk
sebab itu jalur laut ini menjadi rawan, banyak diperebutkan oleh bangsa-bangsa
lain, maka dibangunlah berbagai bentuk benteng pertahanan di pinggiran pulau
(Aceh, Pulau Weh) oleh kerajaan/penjajah yang sedang berkuasa. Nanti akan
ditemui banyak meriam, benteng peninggalan Jepang yang masih tersisa. Bukti
sejarah masa lalu.
Akhirnya
terlaksana juga bisa berkunjung ke Sabang. Hhmm… tak pernah terbayangkan bisa
berada di Pulau Ujung Barat Indonesia ini, Pulau terluar. Pulau penuh sejarah.
Pulau ujung tombak Indonesia. Ahh.. Sabang. Kapal berlabuh tepat waktu di
Pelabuhan Balohan, Sabang Pulau Weh. Lagu yang sering dinyanyikan di sekolah
dulu, sering terdengar akrab di telinga. Dari Sabang sampai Merauke. Kini saya
sudah berada di sini di Kota Sabang tersebut. Bangganya.. Harus dibuat lebay.
Mau nangis tapi gak boleh nangis! Karena tidak semua orang (yang bukan penduduk
setempat) bisa berada di sini...
***
Bersambung…
perjalanan ke aceh
barat indonesia
satubumikita blog
catper ke aceh
catper bandung - aceh
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Silahkan berkomentar, menyanggah, bertanya ataupun ingin berkorespondensi.
Terima kasih