Jurnal satubumikita
Terik sang surya tak lagi hangat tapi cukup menyengat, menyiangi ubun-ubun kepala dan tubuh kami di antara pagi menjelang siang. Peluh dan debu-debu yang ultra mengganggu berterbangan menerpa wajah yang tertutup masker atau kain penutup hidung, yang terlihat kini hanya kolektif mata penuh semangat menatap jauh ke gunung yang telanjang cokelat abu-abu seolah tanpa pohon. Di atas truk pasir yang melaju seperti jet coster atau wahana uji adrenalin di taman bermain dunia fantasi, kami bertumpu bergerombol menuju titik wahana yang sesungguhnya yaitu wahana alam. Sebuah wahana yang bukan ciptaan manusia tapi ciptaan sang maha pencipta.
***