Tak terasa penghujung
tahun 2013 masehi akan berlalu, pun
dengan kegiatan-kegiatan perjalanan yang telah satubumikita jalani selama 2
tahun lebih ini. Banyak suka duka, yang datang dan pergi. Semoga sedikit banyak ada pelajaran dan pembelajaran yang
dapat kita ambil dari setiap perjalanannya untuk diterapkan di kehidupan kita sehari-hari.
Selain kegiatan
yang satubumikita jalani, tak terasa pula sudah 2 digit tulisan amatir yang
tergores, yang penulis namakan Jurnal satubumikita. Jurnal satubumikita sendiri merupakan
sebuah reportase amatir perjalanan berkala dari komunitas satubumikita. Tulisan
yang dipublikasikan di blog (satubumikita.blogspot.com) ini hanya semata-mata
sebagai salah satu bagian dari dokumentasi perjalanan. Data dan keterangan yang
tercantum bisa saja tidak valid dan akurat, koreksi bisa dilayangkan di bagian
komentar atau email satubumikitaeo@gmail.com. Selamat
membaca dan wilujeung taun baruan.
***
Langit hitam
memekat menemani penghuni bumi yang terlelap, tetesan air mulai turun tercurah
dari buaian sang awan kelabu. Deru mesin mobil bak terbuka sejenak memecah
kesunyian malam di tengah hamparan perkebunan. Dinginnya udara pengunungan
mulai menyapa, di kejauhan lampu kota
genit berkerlap-kerlip.Jalan semakin sempit dan licin, melintasi jalur tanjakan
tiba-tiba raungan mesin terdengar keras, bersusah payah menginjak pedal gas,
sang pengemudi akhirnya pasrah dan menyerah. Langit gelap masih menemani, onggokan
besi bermesin tersebut mundur perlahan, suara deru mesin lamat-lamat mulai
menjauh dari kuping digantikan dengan derap langkah dan helaan nafas ke-7 anak
manusia.
Selang waktu
berganti, sang mentari mulai menampakan diri. Di kejauhan gunung gemunung
tersaput kabut tipis terlihat lembut bagai lukisan dalam kanvas.Sebagian dari
kami masih merebahkan tubuh di dalam sebuah mushola. Di pagi itu, kawasan
tersebut sangat sepi tak ada orang selain kami, kawasan tersebut dinamakan Bumi
Perkemahan Berod yang juga merupakan salah satu titik awal pendakian menuju
Gunung Ciremai, yaitu Jalur Apuy. Ya perjalanan kami, satubumikita di pagi itu
adalah menuju Gunung Ciremai atau ada juga yang menyebut Gunung Ceremai,
Cereme. Gunung Ciremai masuk kedalam 3 daerah kabupaten yaitu Cirebon, Kuningan
dan Majalengka, serta memiliki 2 jalur umum selain Apuy yaitu Palutungan dan
Linggarjati.
Cuaca cerah di
pagi hari menemani awal perjalanan kami dan suasana masih sama, sangat sepi tak
terlihat penampakan manusia lainnya selain kami, bisa jadi karena hari itu
adalah hari jum’at di tanggal yang tanggung dan bukan tanggal ideal untuk
pendakian Ciremai karena beberapa hari ke depan adalah libur natal dan tahun
baru.
Pendakian pun
kami mulai, dengan tubuh yang masih segar serta udara yang sejuk berangin kami
langkahkan kaki beriringan di kawasan gunung yang termasuk Taman Nasional
Gunung Ciremai. Jalan setapak di awal perjalanan masih cukup bersahabat dan
belum kentara dengan tanjakan-tanjakannya.
Jalur Apuy, yang kami lalui menurut berbagai sumber referensi merupakan
jalur yang lebih bersahabat dibanding dengan 2 jalur umum lainnya dan yang
terberat adalah jalur Linggarjati. Vegetasi tumbuhan dan pohon-pohon yang tumbuh
di awal perjalanan pun masih cukup lebat dengan berbagai jenis yang tumbuh
bahagia.
Namun cukup
disayangkan, sampah-sampah masih banyak berserakan dan bertebaran di tiap pos
yang kami lewati. Hal yang bisa jadi sangat menggangu selain sampah bekas
pendaki, yaitu air kencing yang dimasukan ke dalam botol plastik dan dibiarkan
begitu saja oleh sang pembuang hajat di bawah pohon atau digantung. Entahlah,
mitos sesat yang konon bila kencing tak boleh langsung mengenai tanah di Gunung
Ciremai, begitu menyesatkan bagi para pendaki yang tak berpikir logis dan malah
ikut andil mengotori serta merusak lingkungan dan pemandangan, bahkan malah semakin
mengganggu “penghuni” Ciremai.
Seusai beberapa
jam berjalan, langkah mulai sedikit tersendat, udara mulai begitu dingin menusuk
tulang walaupun waktu masih bisa dikatakan siang. Terus berjalan walau pelan
dan sesekali beristirahat diselingi asupan makanan kecil merupakan salah satu
antisipasi agar kami tak begitu kelelahan dan kedinginan serta tak kemalaman di
jalan.
Di alam bebas
seperti di gunung setiap penjelajah atau pendaki memang harus siap dengan
berbagai kondisi dan keadaan alam. Persiapan yang matang harus dilakukan untuk meminimalisir faktor yang
bisa membahayakan diri dan tim selama perjalanan. Berkaca dari berbagai contoh
kasus kematian pendaki yang banyak terjadi di berbagai gunung di Indonesia, hal
tersebut bisa menjadi pelajaran dan bahan pembelajaran berharga bagi
satubumikita dan kawan semua kenapa kasus-kasus tersebut bisa terjadi.Terlepas
dari berbagai faktor yang mempengaruhinya, manusia hanya bisa berikhtiar, meminimalisir
dan mengantisipasi bahaya tersebut.Karena alam bukan untuk ditaklukan atau
dikalahkan.
Sore mulai
menggelayut, angin berhembus cukup kencang berbaur dengan selimut kabut.Vegetasi
mulai berubah dari hutan berpohon besar menjadi tumbuhan berbatang kecil seperti
cantigi dan edelweiss.Jalur pun mulai berubah menjadi jalur berbatu yang cukup
curam menanjak. Sekitar 10 jam menempuh perjalanan dari titik awal jalur Apuy,
sesuai rencana kami membuka tenda dan berkemah disekitar Gua walet yang berada di lembah berupa tanah
lapang dan cukup reprensentatif. Ternyata selain rombongan satubumikita sudah
ada terlebih dahulu satu rombongan lain yang akan berkemah di Gua walet yang
berasal dari Jakarta.
Gua walet
sendiri menurut keterangan di laman Wikipedia, merupakan daerah yang berada
diketinggian sekitar 2900 Mdpl dan menjadi bekas titik letusan Ciremai tempo
dulu. Gua yang menganga cukup besar tersebut menjadi sumber air bagi para
pendaki. Gua yang tak ada waletnya tersebut sebenarnya berupa cerukan yang menjorok
kedalam dengan panjangnya sekitar 20 meter dan dinding atap gua yang cukup
besar, gua tersebut tidak memiliki akses
tembusan atau buntu. Sumber air di Gua walet berasal dari rembesan air yang menetes
dari atap-atapnya, dan bila musim hujan seperti ini air cukup berlimpah serta berbanding terbalik dengan musim kemarau.
Adzan maghrib
yang terdengar dari salah satu ponsel kawan menemani kami yang sedang
mendirikan tenda, dikelilingi dinding tebing yang temaram ditumbuhi edelweiss
serta cahaya-cahaya kecil lampu senter, wajah-wajah kuyu bercampur peluh
tersirat remang cahaya. Seharusnya bulan begitu indah purnama sempurna di
langit, tapi sang halimun dan mega seolah tak merestui untuk kami nikmati. Suasana
sepi berteman suara jangrik, desiran
angin dingin berhembus pelan tak menyurutkan aktivitas mengisi perut sebelum terlelap memulihkan tubuh dalam
kantung tidur. Sunyi senyap kemudian membaur dengan sang semesta.
Tak ada ayam
berkokok mendadakan pagi telah datang, gelap temaram mulai tersaput secercah
cahaya mentari pagi.Semangat mulai terkumpul kembali awali hari, seusai sedikit
berkemas dan membawa bekal makan pagi, kami kemudian mulai melangkah menuju
pucuk Ciremai. Tenda dan segala asupan beban yang menindih punggung dan pundak seharian
kemarin disimpan sementara di sekitar Gua walet.
Langkah kecil
mulai terayun dan alangkah indahnya pagi berpanorama gunung gemunung berselaput
kabut, awan putih saling berkejaran, nyanyian burung kecil, embun di dedauan.Betapa
kayanya ibu pertiwikita ini yang saat tanggal 22 Desember bertepatan dengan
hari ibu. Walau harus kita sadari bersama rahasia umum di balik kayanya alam,tapi
begitumiskinnya mayoritas penduduk negeri ini. Tersadar pula betapa kecil, tamak
dan rakusnya kita sebagai manusia.
Di ujung sana,
mulai terlihat batuan beku bekas letusan Ciremai tempo dulu dan menandakan
pucuk Ciremai sudah dipelupuk mata, tapi itu bukan tujuan kami secara tak kasat
mata. Tujuan yang lebih bernilai telah kami dapati separuh dalam perjalanan
kemarin, dan pucuk tertinggi hanya merupakan sebuah bonus kasat mata yang
memanjakan indera penglihatan atas panjang dan terjalnya perjalanan. Ibarat
sebuah perjalanan dalam kehidupan, terdapat banyak jalan berliku, dan
perjalanannya lah yang akan menempa kita, sedang akhir dan hasil dari
perjalanan hanyalah hadiah. Di dalam proses pembelajaran dan pemaknaan hidup,
gunung menjadi salah satu dari sekian banyak sarana tempat menuntut ilmu di
semesta yang maha luas ini.
Dinding-dinding
cadas kawah nan terjal membisu kaku, asap sulfatara di dasar kawah mengepul
tenang. Di bawah sana, di sekeliling nampak kota-kota yang mengelilingi
Ciremai, peradaban manusia telah begitu maju. Gunung sebagai saksi peradaban
manusia yang secara kultur budaya disucikan, kadang hanya menjadi objek
ketamakan manusia, hutannya dibabat, alamnya dirusak atau hanya sebagai tempat
pembuangan sampah.
***
Perjalanan kami masih
belum berakhir, ada naik pasti ada turun, datang dan pergi, begitu pun
perjalanan kami. Jalur turun yang kami lewati yaitu melalui Linggarjati,
Kuningan.Jalur berbatu yang cukup menguras tenaga dan kadang melewati turunan
tegak lurus yang memerlukan bantuan pegangan akar pohon yang seolah disediakan
oleh alam. Di tengah perjalanan turun, hujan mulai mengguyur bumi, jalur setapak
berbatu seolah menjadi aliran sungai dan air terjun berwarna bajigur.
Perjalanan yang cukup membutuhkan fisik prima dengan kondisi serta cuaca hujan
dan terpaan suhu dingin, kekompakan tim seperjalanan menjadi salah satu poin penting
selain persiapan, peralatan dan perbekalan.
Pos demi pos
kami lalui, perjalanan kami lalui dengan cukup menyenangkan dan diselipi dengan
ocehan senda gurau penghilang lupa lelah. Seusai berjalan sekitar 12 jam, sesuai
rencana kami mendirikan tenda, karena tubuh yang sudah sangat lelah dan
keseimbangan mulai goyah, lapak tenda dibuka di sebuah tanah datar sebelum
kuburan kuda. Malam ke-2 berkemah di Ciremai ini tak banyak aktivitas yang kami
lakukan, istirahat, mengisi perut dan cepat bergegas masuk kantung tidur. Dua
malam di Ciremai sungguh merupakan anugerah, hujan tak sempat berkunjung ke
tenda kami, dan kami semakin terlelap tidur tanpa khawatir akan rembesan air
hujan masuk ke dalam tenda.
Waktu berjalan
begitu cepat, tak terasa pagi ke-3 mulai menyambut. Kembali berkemas dan
bergegas, perjalanan turun berlanjut menuju titik akhir pendakian di Mata Air
Cibunar, Linggarjati Kuningan. Seusai adzan ashar berkumandang sampailah kami di titik
akhir pendakian Linggarjati. Sore ke-3 dan hari terakhir perjalanan satubumikita di
Gunung Ciremai diakhiri dengan rintik hujan di bulan desember. Di kejauhan kabut
mulai menutupi sebagian badan Ciremai yang gagah menjulang. Seperti buah cereme
yang masam tapi menyegarkan, banyak cerita di Gunung Ciremai, suka maupun duka,
menyenangkan maupun menyebalkan, karena seolah miniatur kehidupan.
(Taufik/satubumikita)***
Pendakian Gunung
Ciremai, Apuy Majalengka - Linggarjati Kuningan,
19-22 Desember 2013 :
19-22 Desember 2013 :
Terima kasih, lestari alam kita.
suka kata2 "Dinding-dinding cadas kawah nan terjal membisu kaku, asap sulfatara di dasar kawah mengepul tenang. Di bawah sana, di sekeliling nampak kota-kota yang mengelilingi Ciremai, peradaban manusia telah begitu maju. Gunung sebagai saksi peradaban manusia yang secara kultur budaya disucikan, kadang hanya menjadi objek ketamakan manusia, hutannya dibabat, alamnya dirusak atau hanya sebagai tempat pembuangan sampah." prbedaan keseimbangan alam yg msh dijaga dgn aturan dan kuasaNya berbdg trblk setlh dikelelola dgn tdk smestinya oleh manusia..
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
HapusMksh :))
BalasHapusselama alam masih ada, selama itu pula keinginan kita untuk dapat datang pada-Nya. Terima kasih telah berbagi, selamat beraktivitas untuk bumi kita yang hanya satu ini.
BalasHapussalam lestari
salam juga, makasih sudah berkunjung.
Hapus