Suara adzan maghrib mulai
berkumandang menggema di seantero kampung dari corong pengeras suara sebuah
surau. Langit senja bercampur awan hitam bergumpal memekat menemani kaki yang lelah berjalan. Di sebuah warung,
segerombolan orang berkumpul menghela nafas sembari menunggu kawan yang tak
kunjung tiba. Sedikit kerisauan akhirnya terjawab, kawan yang ditunggu pun
datang bersama mobil bak terbuka yang biasa mengangkut hasil bumi. Kegembiraan
pun mulai terpancar kembali, senyum sumringah mulai terkembang diiringi guyonan
dan candaan mengobati kelelahan. Di pelupuk mata lamat-lamat terlihat
kerucut gunung berselimut halimun. Lampu
kota di kejauhan mulai berkelap-kelip ditimpali angin malam yang mulai
berhembus pelan. Sejurus kemudian deru mesin lokomotif mengakhiri perjalanan satubumikita
di ahad itu.
12 jam yang lalu
Tak lama menunggu di dalam peron
Stasiun Bandung, kereta yang kami tunggu melaju pasti menuju Stasiun Cicalengka. Kereta Rel Diesel
(KRD) yang dahulu ramai dan riuh seperti pasar kini sudah mulai tertata rapi.
Angin dari pendingin udara berhembus dingin menyejukkan para penumpang yang
hanya cukup menukar 3 koin uang 500
rupiah dengan karcis kereta. Di pagi itu kami, Komunitas satubumikita mencoba
sejenak menjelajah kawasan Gunung Kerenceng yang berada di perbatasan antara
Kab.Sumedang dan Kab.Bandung.
Sekitar 80 menit perjalanan
berkereta, sampailah kami di Stasiun Cicalengka. Stasiun kecil yang kini cukup
tertata rapih dengan gaya bangunan era Kolonial Belanda. Seusai briefing sejenak dan mengganjal perut
serta membeli sedikit perbekalan untuk makan siang, perjalanan kembali
berlanjut. Mobil bak terbuka menjadi pilihan untuk kami sewa menuju titik awal
pendakian ke Gunung Kerenceng. 45 menit berlalu dan kami pun akhirnya sampai di sebuah daerah bernama Jambu Aer.
Daerah tersebut masuk dalam wilayah Desa
Sindulang, Kecamatan Cimanggung, Kab.Sumedang.
Setelah yakin bahwa titik
tersebut adalah salah satu titik awal pendakian ke Kerenceng, perjalanan pun kami
mulai dengan berjalan kaki. Jalur awal berupa anak tangga yang dibuat dari
semen untuk memudahkan akses jalan warga desa dari dan menuju pemukiman serta
kebun garapan. Kebun-kebun sayuran berupa kol, cabe dan varian lainnya
menghiasi jalur yang kami lewati. Sesekali kami coba bertanya dan menyakinkan arah menuju kerenceng pada warga desa, dan
dengan sopan mereka pun menjawab dihiasi senyuman. Titik awal pendakian
Kerenceng menurut warga yang kami temui selain
dari wilayah Jambu Aer, bisa pula masuk dari Situ Hiang, Desa Tegal
Manggung.
Perjalanan penjelajahan alam kali
ini terbilang impulsif dengan jalur yang sama sekali satubumikita belum tahu. Berbekal
secuil informasi dari kemajuan teknologi internet serta orang yang berbaik hati menulis kisah perjalanannya
di dunia maya perjalanan ini pun
akhirnya terlaksana.
Seusai memasuki kawasan
perkebunan warga, jalur mulai memasuki pintu hutan dengan ditandai sebuah plang
hijau kusam milik Perhutani yang termakan usia. Jalur mulai menanjak dan semak
belukar semakin rimbun, tumbuhan perdu dan pinus menghiasi jalur awal yang kami
lewati. Jalur yang kami lewati cukup jelas walau bisa dikatakan jalur tersebut
jarang dilalui oleh warga karena dilihat dari tingginya ilalang-ilalang yang
tumbuh subur menghalangi jalur. Pohon-pohon besar masih nampak berdiri kokoh
menjulang, dan di satu sisi terlihat pula tunggul-tunggul serta kayu bekas hasil tebangan yang dibiarkan berserakan
begitu saja.
Melewati pohon yang telah ditebang |
Semakin memasuki hutan jalur
mulai bervariasi dan semakin menanjak melipir punggungan. Mendekati area
terbuka menuju Puncak Kerenceng, tanaman kantong semar dengan bahagia tumbuh
subur berkelompok. Kantong semar memang semakin sulit ditemui di alam dan
gunung dan sekarang digolongkan menjadi tumbuhan langka. Langkanya kantong
semar bisa jadi akibat dari pencurian tumbuhan tersebut dari habitatnya untuk dijual, serta mungkin dari rusaknya
ekosistem alam atau gunung habitat tumbuhan tersebut hidup akibat perambahan
hutan yang kadang tak terkendali.
Sekitar 3 jam berjalan menjelajah
hutan, akhirnya sampailah kami di titik tertinggi Kerenceng. Titik tertinggi
Kerenceng berupa kerucut kecil yang memiliki luas sekitar 2,5 m2 dengan ketinggian
sekitar 1763 Mdpl. Lokasi puncak bukan gunung berapi ini sangat sempit dan sangat tidak cocok untuk
mendirikan tenda. Jalur-jalur punggungan tipis menjadi panorama yang menarik
dari atas puncak. Lembahan hutan yang rapat penghubung ke Gunung Kareumbi menjadi seolah pemandangan langka disaat
hutan sekitar Bandung dan Sumedang mulai tergerus dan beralih fungsi oleh
pemodal besar.
***
Menurut Kamus Bahasa Sunda susunan R.A Danadibrata
halaman 333 yang diterbitkan oleh Panitia Penerbit Kamus Basa Sunda,
menyebutkan bahwa Kéréncéng berarti Gengge Raranggeuyan, Gengge Beunang
Niiran, Loceng, Kirincing. Gengge sendiri bisa diartikan secara
bebas yaitu Gelang Kaki dan Raranggeuyan
bisa berarti banyak, sedang Gengge
Beunang Niiran bisa diartikan Gelang kaki yang disusun dengan cara di tusuk
seperti sate. Sedang kata Loceng
berarti Lonceng dan Kirincing bisa
berarti bunyi Kirincing. Menurut sedikit
informasi dari tulisan HU Galamedia, edisi Minggu 28 juli 2002, menyebutkan
bahwa dahulu Gunung Kerenceng merupakan tempat tinggal Eyang Panggung Jaya Kusumah. Dan siapa Eyang
Panggung Jaya Kusumah? Entahlah, mungkin salah satu sesepuh/leluhur atau
pendiri kampung di sana. Satubumikita
sendiri belum sempat mengkonfirmasi kepada warga lokal kenapa Gunung tersebut
dinamai Kerenceng (Kéréncéng) serta mitos dan sejarahnya.
Lalu Gunung Kareumbi yang
bersebelahan dengan Kerenceng (Kéréncéng), masih dalam kamus susunan
R.A Danadibrata di halaman322, Kareumbi disebutkan sebagai Ngaran tutuwuhan nu jadi sorangan di reuma sok disebut oge kuray,
gedena gancang pisan, yang bila satubumikita artikan bebas berarti : Nama tetumbuhan yang tumbuh dengan
sendirinya di huma yang bisa disebut juga Kuray, tumbuhnya cepat sekali.
Menurut informasi dari tulisan HU Galamedia, edisi Minggu 28 juli 2002 sama seperti
di paragraf sebelumnya, menyebutkan bahwa ternyata asal mula nama Gunung Kareumbi adalah Gunung Bedil,
tempat menetapnya Embah Oyot. Untuk nama Kareumbi sendiri,
baru kemudian diambil dari nama sebuah pohon Kareumbi (Homalanthus populneus) yang banyak tumbuh di
wilayah tersebut. Selain Gunung Kerenceng dan Gunung Kareumbi, terdapat pula gunung-gunung
lainnya diantaranya Gunung Batara Guru, Gunung Buled, Gunung Wendu yang
memiliki ceritanya masing-masing.
Gunung Kerenceng dan Gunung Kareumbi sendiri masuk dalam Kawasan Taman Buru Masigit Kareumbi yang termasuk daerah konservasi. Menurut laman kareumbi.wordpress.com, Taman Buru Masigit Kareumbi memiliki Kawasan seluas 12.420,70 Ha yang terletak pada area yang menjadi kewenangan tiga kabupaten yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut.
Gunung Kerenceng dan Gunung Kareumbi sendiri masuk dalam Kawasan Taman Buru Masigit Kareumbi yang termasuk daerah konservasi. Menurut laman kareumbi.wordpress.com, Taman Buru Masigit Kareumbi memiliki Kawasan seluas 12.420,70 Ha yang terletak pada area yang menjadi kewenangan tiga kabupaten yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut.
***
Kabut di siang yang panas
menemani kami menikmati makan siang di
pucuk Kerenceng, dengan menu sederhana beralas koran yang begitu nikmat,
bercengkrama dengan alam dan kawan. Seusai santap siang, perjalanan masih terus
berlanjut, tujuan selanjutnya adalah mendaki Gunung kareumbi yang berada di
sebelah Gunung kerenceng. Perjalanan terus berlanjut dan jalur semakin turun
dan sesekali kembali mendaki puncakan. Jalur punggungan tipis sepertinya akan
menjadi ikon jalur pendakian Gunung Kerenceng bagi yang gemar mencoba jalur
“punggung naga” seperti di Gunung Rakutak.
Jalur turun yang dilalui cukup
jelas dan sepertinya sering dilewati. Tak terasa kaki terus berjalan, sore pun
mulai menggelayut, tapi terik sang surya masih betah menemani. Sesekali kami mencoba mengehela nafas dan merebahkan
tubuh menghilangkan lelah.
Seusai adzan ashar, ladang dan
kebun warga mulai terlihat. Hamparan kebun bawang yang siap ditanami terbentang
luas di tanah merah. Tak berapa lama segerombolan pemburu babi hutan dengan
anjing-anjingnya berpapasan dengan kami. Sejenak kami beristirahat dan sebagian
sholat ashar di sebuah mushola sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Titik
akhir pendakian kami akhiri dari daerah Situhiang Desa.Tegalmanggung
Kec.Cimanggung Kab. Sumedang. Jalan aspal berkelok kini siap kami susuri. Di
kejauhan Kerucut Kerenceng seolah memberi salam. Semoga
Kerenceng dan kareumbi tetap lestari. (taufik/satubumikita)***
Pendakian Gunung Kerenceng, 24 November 2013:
- Puspita Supriati
- Rani Ratnasari
- Taufik Hidayat
- Siti robiah
- Firman Nurdi
- Ade Siti Nuraenun
- Deni Hadiansah
- Adek Kusuma
- Alan
- Gustaf Ridwan Munandar
- Hasby
Catatan : Ternyata dari berbagai
informasi, arah untuk menuju Gunung Kareumbi setelah dari puncakan berbelok turun
ke lembahan (arah kanan dari Kerenceng). Dan saat itu kami salah menduga bahwa
kami telah mendaki 2 gunung, ternyata Gunung Kareumbi yang dimaksud tidak kami
lalui. Gunung Kareumbi yang dimaksud memiliki jalur yang dari kejauhan sangat
tipis yang di sekelilingnya diapit lebatnya hutan.
Terima Kasih, lestari alam kita.
keren punggungan jalurnya tipis bgt..
BalasHapusthanks ya infonya !!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id
mantap tulisannya seakan mengikuti alur dan seakan merasakan permasalahannya
BalasHapusterima kasih infonya...saya punya uyut bernama kerenceng, apakah ada hubungannya dengan gunung ini?? semoga bisa segera mengetahui asal usul siapa dan bagaimana. .
BalasHapus