Teks & foto Oleh : Feriansyach (Permata Sumut)
Dengan Apakah kita mendaki? Bukan dengan peralatan yang lengkap, perhitungan yang cukup, bekal yang banyak, atau nafsu, hasrat yang besar untuk menggapai puncak. Kita mendaki dengan Nurani. Nurani yang sehat yang selalu disirami dengan ketakwaan (beribadah) kepada Allah sebagai usaha untuk mempertajam nurani yang kita miliki. Mengapa Nurani ?
Banyak para pendaki berbeda sikapnya ketika berada di atas gunung dan di kesehariannya. Bahkan terlalu mensakralkan puncak gunung dan sebagainya. Berbagai pantangan muncul seperti harus melestarikan gunung, dan sikap yang berubah karena sedang berada di puncak gunung (di alam). Sebuah sikap yang tidak salah, dengan berusaha melestarikan gunung dengan berbagai pantangan-pantangan yang muncul serta kepatuhan-kepatuhan yang ada. Puncak Gunung, pantai, tengah kota, rumah, kamar bahkan toilet merupakan bagian alam yang menjadi tempat beraktifitas manusia yang harus kita lestarikan kapanpun dan dimanapun. Larangan-larangan dan pantangan yang selama ini muncul dari pendaki sebagai sebuah ketetapan bersama menjadi kesepakatan moral bagi para pendaki.
Sebuah pendakian atau perjalanan baik menuju ke hutan, gunung, sungai, gua, kota, dan berbagai tempat lainnya merupakan usaha kita untuk dapat belajar dari apa yang kita rasakan. Setiap pendaki, traveler, backpacker harus mampu mengambil pelajaran dari apapun yang dirasakannya dalam setiap perjalanan. Dalam Sebuah perjalanan jangan sampai kita tidak mampu memaknai, karena hal ini merupakan suatu hal yang sia-sia. Dan saya pernah merasakan suatu kesia-siaan dalam suatu perjalanan.
Kesia-siaan suatu perjalanan bukan karena kita tidak mampu menuju puncak, menuju lokasi yang dituju. Tetapi kesia-siaan dalam perjalanan lebih kepada ketidakmampuan untuk belajar dan menyikapi segala peristiwa yang terjadi dalam suatu perjalanan. Sebagai contoh. ketika dalam sebuah pendakian, ada saudara (teman seperjalanan, tidak perjalanan tunggal, pen) kita yang cidera yang menyebabkan dia tidak bisa melanjutkan perjalanan. Dalam hal ini kita sebagai seorang pendaki, traveler, harus bersikap bijaksana, dalam hal ini kita harus mampu mempertanyakan hati nurani kita dalam mengambil keputusan. Apakah ketika kita meninggalkan dia, atau menyuruhnya kembali suatu hal yang bijaksana sesuai dengan hati nurani. Dalam hal ini pasti akan terjadi pertentangan antara nurani (qalbu) dan logika. Bahkan kita dapat belajar dari persitiwa-peristiwa kecil yang merupakan materi belajar dalam suatu perjalanan.
Dalam suatu pendakian, puncak merupakan tujuan utama, tetapi menjaga keutuhan tim merupakan hal yang asasi, Gunung akan bertahan lebih lama dari usia manusia. Tetapi sahabat, teman saudara, dan tim merupakan sekumpulan manusia yang hidupnya dibatasi oleh kematian. Bisa saja ini pendakian terakhirnya, atau bahkan pendakian terakhir kita sendiri. Seorang pendaki memiliki hak terhadap pendaki yang lain.
Suatu perjalanan juga menjadi sia-sia ketika kita bingkai dengan hasrat dan nafsu untuk menuju puncak. Nafsu dan hasrat tidak harus menghilangkan kebersamaan. Sebuah pendakian bukan untuk merusak silaturahim, justru disini kita akan melihat bagaimana kita dapat bekerajsama untuk mengatasi suatu permasalahan dan menuju cita-cita bersama yang dilandasi dengan nurani yang disirami dengan Keimanan dan ketakwaaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Suatu perjalanan, pendakian harus tetap menggunakan nurani kita, sehingga tidak hanya menggunakan logika semata. Pendakian sejati bukan pendakian yang dipenuhi oleh hasrat untuk menginjakkan kaki di puncak tertinggi, bahkan menumbuhkan kesombongan dalam diri kita. Pendakian sejati bagaimana kita dapat bersatu padu, bekerja sama dalam mengatasi berbagai permsalahan yang ada, sebagai usaha mewujudkan cita-cita bersama.
Semua pencapaian, tantangan, hambatan dalam pendakian/perjalanan merupakan sebuah skenario Allah agar kita belajar. Sebuah pendakian harus dengan niat untuk belajar memahami ayat-ayat Allah yang ada di Alam (tadabbur Alam). Sebuah pendakian harus dibingkai dengan nurani, sebab pendakian harus dibekali dengan kemampuan menangkap makna yang terjadi.
Sikap kita di puncak gunung dengan sikap keseharian harus sama yaitu dilandasi etika, norma, moral dan nilai yang sama. Berbagai tempat seperti puncak, pantai, kota, rumah dan dan sebagainya merupakan bumi Allah. Oleh karena itu, Sebuah pendakian tidak menghilangkan kewajiban kita kepada Allah, Pendakian bukan alasan untuk melalaikan kewajiban. Kelelahan, keletihan, peluh dan darah merupakan konsekuensi dalam sebuah perjalanan, tetapi hal itu tidak menjadi alasan untuk menghilangkan kewajiban sebagai orang yang beragama. Suatu perjalanan bukan untuk melalaikan kita atas kewajiban kita. Dimanapun dan kapanpun kita tetap umat beragama. Kelalaian merupakan fitrah manusia tetapi kita harus berusaha tetap melaksanakan kewajiban kita kepada Allah dimanapun kita berada. Allah memberikan manusia, akal logika dan nurani agar kita mampu memaknai dan bijaksana dalam mengambil keputusan untuk mewujudkan suatu tujuan.
Hanya Allah yang Maha Mengetahui
tulisan ini bisa di baca pula di : http://permatasumut.blogspot.com/2013/11/mendaki-dengan-nurani-dan-keimanan.html?showComment=1383963503772#c675284808096662933
setuju bang ferr...
BalasHapus