Di kejauhan, tinggi menjulang
sebuah Gunung yang pernah meletus dahsyat. Letusannya di masa Presiden Soeharto tercatat berlangsung selam
9 bulan, dalam periode 5 Mei 1982 sampai 8 Januari 1983. Ya, Gunung tersebut
adalah Gunung Galunggung, yang berada di kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Menurut supir angkot yang kami tumpangi, di periode meletusnya Galunggung
tersebut, para warga di sekitar Gunung hanya bisa menikmati terangnya
mentari sampai sekitar jam 10 pagi, dan
selebihnya dari waktu tersebut adalah waktu yang gelap. Tak terbayangkan
keseharian kita dalam keadan seperti itu, tapi itulah kuasa Tuhan.Seperti kata
Kuncen Kampung Naga, bencana meletusnya Galunggung sekitar 29 tahun lalu merupakan
sebuah pelajaran bagi manusia. Seperti letusan Gunung lainnya yang selain
menyisakan tangis, seolah Galunggungpun kemudian menjadi sumber penghidupan bagi
manusia sekelilingnya. Pasir-pasir bekas muntahan dari perut bumi yang melimpah
menjadi sebuah keniscayaan bahwa alam memang memberikan sebuah keseimbangan dari sebuah bencana alami (tanpa
campur tangan manusia).
***
Langit cerah di sabtu siang itu,
mungkin tak akan kami nikmati pada sabtu di tanggal yang sama 29 tahun lalu. Dan mungkin sebagian besar dari kami
pun banyak yang belum terlahir ke dunia saat dentuman, pijaran api serta
kilatan halilintar mengamuk di Galunggung. Ya, kami, sebuah komunitas penggiat
kegiatan alam bebas amatir yang mencoba melihat dari dekat Gunung yang sekarang
dinyatakan aman. Bertolak dari terminal Cicaheum, bis yang kami tumpangi melaju
perlahan terhadang padatnya jalanan ujung timur kota Bandung. Perjalanan dalam
bis harus kami lalui selama kurang lebih 3 jam untuk menuju terminal bis
Indihiang di Tasikmalaya. Terminal bis yang bisa dikatakan besar dan megah
untuk ukuran sebuah kota kecil Jawa Barat. Bandung sebagai ibu kota provinsi
pun belum memiliki sebuah Terminal Induk yang representatif, ya kita tunggu
saja gebrakan dari walikota Bandung yang baru, Mang Ridwan Kamil sang arsitek.
Dari terminal bis Indihiang,
Galunggung yang akan kami tuju sudah terlihat angkuh menjulang. Perjalanan kembali
berlanjut dan masih menaiki kendaraan umum, kami menyewa dua angkutan kota
menuju pintu gerbang kawasan Gunung Galunggung, yang beberapa tahun seusai
letusan tahun 1982-1983 dibuka menjadi kawasan wisata yang menjadi primadona
Kabupaten Tasikmalaya (untuk menghindari kerancuan, nama Tasikmalaya terbagi
menjadi 2 daerah tingkat tinggi yaitu Kabupaten dan Kotamadya).Sekitar 50 menit
dalam angkot yang melaju, sampailah kami di gerbang Kawasan Wisata Galunggung
yang terdiri dari 2 objek wisata utama yaitu kawah danau Galunggung dan
pemandian air panas (Cipanas).
Selain menurut penuturan supir
angkot yang di awal paragraf telah disebut bahwa suasana saat letusan wilayah
sekitar Galunggung gelap setelah jam 10 pagi. Juga dari ibu penjaga warung,
yang mengisahkan bahwa dulu lapak yang ditempatinya sekarang adalah sebuah
sekolah dasar yang mungkin bisa jadi bangunannya terdampak langsung letusan.
Lanjut menurut penuturan si ibu warung yang saat letusan sudah menikah,
dikisahkan bahwa di saat keadaan genting bencana tersebut masih saja ada orang yang
tidak bertanggung jawab menjarah barang milik warga yang ditinggal mengungsi,
bahkan kursi dan meja sekolah pun konon raib di gondol maling.
Perjalanan kembali berlanjut
seusai sholat dzuhur dan makan siang. Saatnya kaki kami mulai bergerak
melangkah. Selain jalan aspal, ada jalur alternatif menujuobjek utama dekat danau
kawah, yaitu melalui jalan setapak yang searah menuju Cipanas. Di awal jalur
tersebut kami harus melalui kawasan Cipanas yang saat itu cukup ramai oleh
penggunjung.Ada aliran sungai kecil yang jernih mengalir. Jalur kemudian
menanjak ke sebelah kanan Cipanas dan masuk ke rimbunan dan mulai memasuki
hutan.Kami ber-19 berjalan beriringan di jalur setapak yang banyak semutnya
tersebut, entahlah kenapa banyak sekali semut di jalur yang kami lalui.Semakin
memasuki hutan, suara raungan kendaraan mulai tak terdengar. Di kejauhan pelupuk
mata, anak tangga ikon Galunggung terlihat kecil layaknya seekor cacing. Satu
jam setengah yang kami habiskan di jalur setapak akhirnya berhulu di jalan
aspal dan itu tandanya sebentar lagi
kami akan sampai di pelataran parkir (anak tangga).
Tak berapa lama kami berjalan,
kembali kami melintas jalur berpasir, dan sampailah kami di pelataran parkir
yang di hadapannya mengular ke atas anak tangga. Ya, anak tangga tersebut seolah
menjadi salah satu ikon dari Galunggung selain wisata alam danau kawahnya. Anak
tangga yang menurut papan informasi berjumlah 620 tersebut merupakan penghubung
menuju puncak danau kawah (bukan Puncak Gunung Galunggung) sebagai titik
pandang yang menarik untuk menikmati panorama danau kawah dari atas.
Peta Gunung Galunggung tempo Dulu, foto : http://www.geheugenvannederland.nl/?/nl/items/NAT01:NNM001000871-081 |
Gunung Galunggung sendiri menukil
dari laman Wikipedia merupakan Gunung berapi aktif yang memiliki ketinggian
2.167 meter di atas permukaan laut. Menurut Volcanological Survey of Indonesia (VSI), kawasan Gunung Galunggung meliputi areal seluas ± 275 km2 dengan diameter
sekitar 27 km (barat laut-tenggara) dan 13 km (timur laut-barat daya). Sebelah
barat Gunung Galunggung berbatasan dengan
Gunung Karasak, sebelah utara dengan Gunung Talagabodas Garut, sebelah timur
dengan Gunung Sawal Ciamis dan di sebelah selatan berbatasan dengan batuan
tersier Pegunungan Selatan. Gunung Galunggung dibagi dalam tiga satuan morfologi, yaitu: Kerucut Gunung
Api, Kaldera, dan Perbukitan Sepuluh Ribu. Karakter letusan Gunung Galunggung umumnya berupa erupsi leleran lava sampai dengan letusan
yang sangat dahsyat yang berlangsung secara singkat atau lama.
Selain
itu menukil dari beberapa sumber.Wilayah Galunggungpada zaman dulu merupakan salah satu pusat spiritual
kerajaan Sunda pra Pajajaran, dengan tokoh pimpinannya Batari Hyang sekitar
abad ke-XII.Saat pengaruh Islam menguat, pusat tersebut pindah ke daerah
Pamijahan. Sementara naskah Sunda kuno lain adalah Amanat Galunggung yang merupakan kumpulan naskah yang ditemukan di kabuyutan
Ciburuy, Garut Selatan berisi petuah–petuah yang disampaikan oleh Rakyan
Darmasiksa, penguasa Galunggung pada masa itu
kepada anaknya.
Sebelum melahap jalur anak
tangga, sejenak kami pun menghela nafas kembali di warung-warung yang banyak
tersedia di pelataran parkir. Siangpun mulai berganti sore, dan kami cukup
beruntung sabtu di awal November ini cerah, tak seperti hari-hari yang lalu,
hujan menggila. Beriringan kembali kami mulai melangkahi anak tangga.Pemandangan
dari atas memang cukup bagus, panorama Tasik terlihat cukup jelas. Dan sampailah
kami di titik pandang danau kawah, permukaan yang kami pijak adalah pasir berwarna
kehitaman sisa letusan dahulu.Di bawah, terlihat kawah Galunggung yang sudah
menjadi danau dengan warna airnya yang hijau. Danau tersebut konon memiliki
bagian dengan kedalaman sekitar 200 meter, yang menjadikannya cukup berbahaya
untuk orang yang berenang di sana. Di tengah danau terdapat 2 bukit kecil yang
menurut Wikipedia merupakan kubah lava, dan oleh warga dinamai Gunung Jadi,
bukit kecil tersebut timbul setelah terjadi letusan tahun 1918. Gunung
Galunggung menurut penuturan akang salah satu pemilik warung, tercatat sempat
pernah aktif di tahun 2012 yang ditandai dengan kandungan sulfur yang tinggi.
Untuk saat ini mungkin Galunggung sedang tertidur lelap sesudah 4 kali meletus
besar dalam sejarah manusia (yang tercatat tahun 1822, 1894, 1918 dan 1982-1983
).
Dinding cadas yang menjulang dan
mengelilingi kawah membuat kami sangat kecil sebagai manusia yang angkuh dan
sombong. Perjalanan kembali berlanjut menuju danau kawah menuruni jalan
setapak.Sang surya mulai kembali ke peraduannya, halimun mulai menyeruak
menghias guratan lukisan Tuhan. Di sisi danau kawah, tenda kami dirikan, malam
pun cepat datang, dan kebersamaan mulai menghangat bersama api unggun. Di atas sana bintang gemintang menebar di
luasnya langit, seolah menemani kami yang sejenak menyepi dari bisingnya hiruk
pikuk kota.
***
Hari bergulir, minggu pagi mulai menyambut. Dan
perjalanan belum usai.Sehabis berkemas dan makan pagi perjalanan naik dan turun
kembali dimulai. Beratus anak tangga tak kami lalui, kami mencoba memilih jalan
setapak menuju pelataran parkir. Dan kaki kembali harus bekerja melangkah, dan
entah arwah siapa yang merasuki tubuh kami, kami pun berlari seperti mengikuti lomba
marathon Galunggung 2.5 km.
Masih di kabupaten Tasikmalaya,
sebelum adzan dzuhur berkumandang kembali kami berangkat menuju titik terakhir
di perjalanan satubumikita. Bertolak belasan kilometer dari gerbang wisata
Galunggung menggunakan angkutan kota, sampailah kami di pelataran masuk sebuah Kampung
budaya yang berada di jalan penghubung Garut – Tasikmalaya. Kampung tersebut
yaitu Kampung Naga yang masih memegang adat istiadat sunda dari leluhurnya. Sebelum
benar-benar memasuki kampung, rombongan satubumikita mengisi buku tamu sebagai
daftar kunjungan resmi dan akan didampingi oleh seorang pemandu, kang Yudi
namanya.
Penamaan “Naga”, pada Kampung
tersebut, menurut kang Yudi berasal dari perkataan Kampung “Dina Gawir”atau
“Na Gawir” yang dalam bahasa sunda berarti Kampung yang berada di Jurang. Bisa
jadi untuk memudahkan penamaan kampung tersebut maka dipersingkat dari “Na
Gawir” menjadi “Naga” saja. Semua penduduk Kampung Naga beraga islam, dan
mungkin perlu diklarifikasi dari artikel di Wikipedia yang menyebutkan bahwa
warga kampung Naga melaksanakan sholat hanya di hari Jum’at saja. Satubumikita
mencoba mengkonfirmasi ke beberapa warga Kampung dan mereka mengatakan bahwa
hal tersebut tidak benar, mereka sholat setiap hari. Islam mereka masih sama
dengan Islam kebanyakan di Indonesia dan mereka tidak memiliki kecenderungan terhadap golongan
atau aliran tertentu.
Bersama kang Yudi |
Kampung Naga setiap akhir pekan seperti saat kami
berkunjung, banyak dikunjungi baik oleh para pelajar atau mahasiswa serta orang
yang senang akan budaya, peneliti ataupun hanya para wisatawan. Kampung ini
selain berada dina gawir, juga berada
di sisi sungai Ciwulan yang terus mengalir deras walau di musim kemarau
sekalipun. Hal tersebut konon karena adanya hutan larangan yang harus tetap
dijaga dan masih lestari hingga saat ini.
Bisa jadi hal yang cukup menarik
dari komunitas adat kampung Naga adalah dari penampakan fisik tempat tinggal
mereka serta adat istiadat yang masih dijaga.Sebut saja model rumah panggung
yang harus seragam, dengan atap injuk, lantai rumah menggunakan kayu/papan, dan
tidak boleh menggunakan tembok serta rumah diharuskan menghadap ke arah selatan
dan utara. Rumah di Kampung Naga haruslah saling berhadap-hadapan dengan
tetangga atau saling membelakangi. Filosofi tersebut mungkin agar para warga saling
peduli dan tidak individualisme. Selain itu jumlah bangunan di Kampung Naga
dari dulu hingga sekarang berjumlah 113,
108 untuk rumah tinggal dan sisanya bangunan fungsional seperti masjid, bale
pertemuan, bumi ageung.
Mayoritas warga kampung naga merupakan
petani yang memiliki sawah sendiri yang hasilnya untuk dijual maupun untuk
dikonsumsi sendiri. Selain itu banyak pula yang berjualan cinderamata di rumah
mereka.Untuk adat istiadat, beberapa upacara adat masih dilangsungkan hingga
saat ini yang dalam satu tahun berlangsung kurang lebih selama 6 kali, seperti
hajat sasih. Upacara adat hanya dilakukan oleh kaum adam saja, sedang kaum hawa
berada di rumah untuk memasak/mempersiapkan hidangan. Untuk hukum adat, cukup
menarik, karena di Kampung Naga tak banyak aturan yang dibuat tapi dengan cukup larangan satu
kata saja atau dalam istilah sunda, “Pamali”, maka para warga cukup mematuhi
hukum adat yang berlaku, seperti tidak memasuki Bumi Ageung, merambah hutan
larangan dll.
Modernitas yang masif memang tak
dapat dibendung hadir pula di kampung ini, televisi bukan hal yang baru bagi
mereka. Seperti saat survey beberapa hari yang sebelumnya, tim survey
satubumikita menemui fakta bahwa televisi tak dilarang dimiliki di sana tapi
sebatas hitam putih dan energi untuk menyalakannya menggunakan aki. Lalu ponsel
pun menurut Kang Yudi, bebas masuk dan dipakai di sana. Ya, listrik bisa jadi
tabu untuk di ‘nikmati’, menurut Pak Ayo, salah satu warga. Tidak ada larangan
khusus untuk tidak menggunakan listrik tapi karena rumah mereka yang terbuat
dari bahan yang mudah terbakar, mereka berinisiatif kolektif untuk tidak
memasang listrik, karena takut rumahnya terbakar gara-gara korsleting listrik
yang bisa saja menghanguskan seluruh kampung.
Rombongan satubumikita sebenarnya
saat rencana awal kegiatan, akan menginap di Kampung Naga, tapi karena aturan
dari pihak terkait yang tidak memperbolehkan rombongan dari masyarakat umum
untuk menginap, kecuali para pelajar dan mahasiswa yang membawa surat dari
lembaga. Jadi, di hari minggu sore itu, kami hanya berkeliling Kampung Naga
didampingi oleh Kang Yudi dan diperkenankan pula untuk berdialog dengan ketua
lembaga adat, yaitu Kuncen.
Dari hasil dialog/tanya jawa
dengan kuncen yang diadakan di bale pertemuan, ada fakta yang menarik. Bila
para pengunjung bertanya tentang sejarah dan kapan Kampung Naga berdiri, maka
kebanyakan warga bahkan kuncen pun sulit menjawab pertanyaan tersebut karena
menurut kuncen, sumber peninggalan sejarah mereka telah terbakar/dibakar
sewaktu DI TII pimpinan Kartosoewirjo membakar Kampung Naga sekitar tahun
1956-an karena menolak untuk bergabung dengan DI TII dan memilih ikut ke
Republik Indonesia. Bisa jadi pula ada generasi atau orang yang mengetahui
sejarah Kampung Naga di saat itu ikut menjadi korban. Dan efeknya saat ini
tidak ada yang mengetahui pasti dari sejarah Kampung Naga.
Bersama Punduh yang kebetulan sedang ada waktu senggang |
Pa Kuncen, Ade Suherlin yang sedang membuka dialog |
Selain berdialog dengan Kuncen,
kami pun beruntung dapat bertemu dan sedikit berbincang dengan lembaga adat
lain yaitu Punduh yang humoris. Selain Kuncen dan Punduh, di Kampung Naga
terdapat pula satu posisi lembaga adat yaitu Lebe. Masing-masing posisi memiliki
peran dan fungsinya sendiri di masyarakat adat.
Karena waktu kunjungan ke Kampung
Naga yang singkat, kami tak dapat menyelami lebih dalam lagi budaya, filosofi
dan adat istiadat di sana.Tak lama rinai hujan mulai membasahi bumi, menutup
perjalanan kami di awal November.(taufik/satubumikita)***
Menengok sisa kedahsayatan Galunggung &mengintip budaya
di Kampung Naga.
2 – 3 November 2013 :
1.
Zaenal Mutaqin
2.
Deni Hadiansah
3.
Gustaf Ridwan Munandar
4.
Johanes
5.
Natalia
6.
Puspita Supriati
7.
Mooth
8.
Dana
9.
Taufik Hidayat
10.
Siti Robiah
11.
Ferdinand
12.
Sarie N.F
13.
Novriyanti Putri Fisya
14.
Indra Budi
15.
Windu Y.P
16.
Dwina Lubna
17.
Riza Maulana Ahmad
18.
Ulen Bandung
19.
Deni
Mantap, sangat detail artikelnya :)
BalasHapusthanks ya infonya !!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id