Sang surya mulai tenggelam, temaram, langit senja menyeruak jingga
merona diantara riuh rendah anak manusia. Tak terasa 4 jam berlalu, diapit
waktu yang terus memburu sejak senja kala yang semakin menggila di agungnya Jum’at.
Gelap kemudian datang bersama rinai hujan, berselang seling berbulir. Bergerak
bersama membawa angan, harapan mengawan, menggunung tinggi bersama halimun
dan purnama.
***
Hari mulai bergulir kembali,
beriring doa terpanjat pada sang Pencipta semesta. Langkah kecil adalah awal bersama pagi yang
menyambut segar. Berjalan diantara rindangnya pepohonan serta hijaunya hutan di
kejauhan pelupuk mata. Gontai langkah bersama kawan di alam, mencoba sedikit
menemukan arti dari secuil sisi diri kita sebagai manusia, manusia yang kecil
tapi kadang begitu angkuh dan sombong. Mencoba untuk mencintai tanah dan air
yang luas terbentang seolah tak berujung. Ahhh, sudahlah, tak bijak rasanya dan
tak perlu berpanjang lebar menggurui arti dari sebuah jejak dan langkah dalam
perjalanan, kawan pembaca dan kawan satubumikita mungkin lebih paham.
***
Ber-12 kami berjalan beriringan,
pagi yang ramai untuk sebuah suasana di kawasan gunung. Mungkin tidak begitu mengherankan,
kawasan gunung yang satu ini memang selalu ramai setiap di buka untuk periode
pendakian, dan mencapai klimaks kuota pendaki menjelang akhir pekan dan tanggal
merah. Tujuan kami di perjalanan kali ini adalah mendaki Gunung Gede, yang
termasuk ke dalam kawasan Taman nasonal Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Kami memulai
perjalanan dari titik awal di pintu Cibodas, Cianjur yang juga merupakan
kawasan wisata air terjun Cibeureum yang berada di kaki Gunung Gede dan
Pangrango. Sebenarnya ada 3 jalur masuk (resmi) yang ditetapkan oleh pihak
TNGGP selain Cibodas yaitu Gunung Putri dan Salabintana. Selain itu kuota resmi
pendaki pun dibatasi hanya 600 dengan kuota urutan masing-masing 300 orang (cibodas),
200 orang (gunung putri), 100 orang (Salabintana). Untuk waktu pendakian dalam
kawasan Taman Nasional hanya di beri ijin resmi selama 2 hari 1 malam saja,
maka pendakian yang memungkinkan hanya mendaki satu gunung, Gunung Gede atau
Pangrango.
Jalur berbatu cadas adalah jalan pendakian
yang akan kami lalui hampir 75 % perjalanan dari titik awal dan sisanya lagi
adalah jalan setapak tanah serta jalur alami. Tak jauh dari titik awal
pendakian kita akan menjumpai sebuah telaga kecil yang biasa disebut dengan
Telaga Biru. Bisa jadi telaga tersebut berwarna biru karena efek pencahayaan
dari tumbuhan berjenis alga yang tumbuh di dasar dan sekitar telaga. Selepas telaga, kita akan melintasi sebuah
rawa yang di atasnya telah diberi jembatan cor beton, yang dulunya jembatan
tersebut terbuat dari kayu. Jembatan tersebut memilki panjang sekitar 500 meter
dengan mengikuti alur rawa di bawahnya. Sesekali kami dan rombongan pendaki
lain sengaja berdiam diri hanya untuk sekedar mengabadikan gambar dengan latar
jembatan dan rimbunnya hutan di sekeliling.
Perjalanan masih awal dan untuk
menuju titik tertinggi Gunung Gede masih sangat jauh, membutuhkan waktu berjam-jam
untuk menggapainya. Seperti kehidupan, butuh pengorbanan sekecil apapun itu untuk menggapai apa yang
ingin kita tuju. Sang mentari mulai bersinar terik, kami pun tak terlalu ngoyo,
kami lebih memilih menikmati perjalanan dan panorama sekitar yang cukup sayang hanya
di lalui begitu saja. Pos demi pos pun dilalui dengan keceriaan, sampailah kami
di sebuah persimpangan antara jalur pendakian dan jalur wisata curug (air
terjun) cibeureum. Di setiap pos yang kami lalui cukup ramai oleh para pendaki
atau wisatawan yang beritirahat meregangkan otot atau hanya sekedar menghela
nafas sembari menikmati hutan hujan tropis yang termasuk dalam kawasan
konservasi di Taman Nasional yang ditetapkan pada tahun 1980.
TNGGP sendiri menurut keterangan
di laman www.gedepangrango.org memiliki luas
sekitar 22.851,03 hektar. Di dalam kawasan hutan TNGGP, dapat ditemukan “si
pohon raksasa” Rasamala, “si pemburu serangga” atau kantong semar (Nephentes
spp); berjenis-jenis anggrek hutan, dan bahkan ada beberapa jenis tumbuhan yang
belum dikenal namanya secara ilmiah, seperti jamur yang bercahaya. Disamping
keunikan tumbuhannya, kawasan TNGGP juga merupakan habitat dari berbagai jenis
satwa liar, seperti kepik raksasa, sejenis kumbang, lebih dari 100 jenis
mamalia seperti Kijang, Pelanduk, Anjing hutan, Macan tutul, Sigung, dll, serta
250 jenis burung. Kawasan ini juga merupakan habitat Owa Jawa, Surili dan
Lutung dan Elang Jawa yang populasinya hampir mendekati punah.
***
Halimun mulai turun menyapa
rimbunya pohon, pendakian masih cukup jauh, kewajiban untuk mengisi amunisi
tenga tak bisa terelakkan lagi dan kegiatan masak-memasak pun di gelar. Salah
satu hal yang menyenagkan berkegiatan di alam adalah masak memasak, seolah
masak makanan apapun menjadi lebih berarti dan nikmat, kata kuncinya mungkin
bersyukur. Makan sebelum siang pun di mulai, tenaga mulai terisi kembali dengan
asupan mie instan rebus dan asupan kopi yang instan pula. Entahlah kenapa pendakian
kali itu tenaga terasa cepat terkuras, tapi tidak begitu masalah karena kami
mendaki dengan sangat santai perjalanan tak terasa begitu berat. Ransel-ransel di punggung pendaki sepertinya saling
menyapa dengan beban masing-masing yang berisi asupan standar pendakian.
Alas-alas kaki menjejak meninggalkan bekas, kaki-kaki manusia bergelimpangan
melangkah dengan jenis penutupnya, tak peduli mahal atau murah semua menyatu,
tak peduli sandal jepit atau sepatu trekking merk import semua sama-rata sama-rasa
menginjak bumi yang sama tanpa strata.
Di kejauhan asap terlihat
mengepul, bukan halimun, bukan asap kebakaran hutan, tapi uap air panas yang
mengalir menjadi air terjun kecil. Batu-batu yang dialiri air panas terlihat
menghijau mengkilat oleh proses alam yang panjang. Cahaya-cahaya kilatan kamera
mencoba mengabadikan air yang di godok di dalam perut bumi yang jarang ditemui
di perkotaan. Ahh, alam memang banyak memberi pelajaran dan keindahan. Terlihat
pula sejumlah orang yang sengaja merendam kaki dan mandi untuk merasakan
hangatnya air gunung yang bias jadi berkhasiat. Beberapa ratus langkah ke depan
kembali kami pun menemui sebuah pos besar
yang di beri nama lebak saat atau Kandang Batu. Sejenak beristirahat
perjalanan kembali berlanjut, pos terakhir yang akan kami lalui adalah kandang
badak. Di pos kandang badak kembali memasak karena perut yang tak bias berkompromi
lagi, kali ini masakan lebih komplit dengan menu oseng kangkung, seblak macaroni,
dendeng dan nasi liwet.
Kandang Badak sendiri merupakan
sebuah tanah lapang di punggungan percabangan
yang akan menuju puncak Gunung Gede dan Gunung Pangrango. Menurut berbagai
informasi, kandang badak pernah menjadi habitat Badak, dan akibat letusan besar
Gunung Gede badak yang berada di kawasan itu mati dan musnah akibat letusan.
Selepas kandang badak yang sekarang lebih cocok di beri nama “kandang” pendaki
perjalanan berlanjut, jalur batu yang ditata mulai berubah menjadi jalur tanah setapak
yang sempit. Jalur yang harus dilalui selanjutnya bernama Tanjakan Rante atau
nama hiperbolanya Tanjakan Setan. Tanjakan tersebut berupa bidang yang hampir
tegak lurus, di jalur tersebut oleh pengelola TNGGP telah di sediakan tali
tambang dan webbing untuk membantu memanjatan.
Vegetasi mulai berubah menjadi sekumpulan cantigi. Cantigi yang indah berselimut lamat-lamat halimun, dan akhirnya buliran air dari langit berjatuhan dengan deras. Rombongan mulai terpisah jauh, hujan deras mengguyur jalur di gigiran kawah Gunung Gede yang megah, asap sulfatara membumbung ke atas, mulai terlihat pula bunga lambang keabadian, edelweiss. Dan akhirnya kami pun sampai di titik tertinggi Gunung Gede yang memilki elevasi ketinggian sekitar 2.958 meter di atas permukaan laut. Gunung Gede selain sekarang terkenal di kalangan para pendaki, tercatat pula para ahli yang telah mendaki untuk berbagai keperluan dari berbagai disiplin ilmu. Pada tahun 1819, C.G.C. Reinwardt sebagai orang yang pertama yang mendaki Gunung Gede, kemudian disusul oleh F.W. Junghuhn (1839-1861), J.E. Teijsmann (1839), A.R. Wallace (1861), S.H. Koorders (1890), M. Treub (1891), W.M. Docters van Leeuwen (1911); dan C.G.G.J. van Steenis (1920-1952) telah membuat koleksi tumbuhan sebagai dasar penyusunan buku The Mountain Flora of Java yang diterbitkan tahun 1972.
Vegetasi mulai berubah menjadi sekumpulan cantigi. Cantigi yang indah berselimut lamat-lamat halimun, dan akhirnya buliran air dari langit berjatuhan dengan deras. Rombongan mulai terpisah jauh, hujan deras mengguyur jalur di gigiran kawah Gunung Gede yang megah, asap sulfatara membumbung ke atas, mulai terlihat pula bunga lambang keabadian, edelweiss. Dan akhirnya kami pun sampai di titik tertinggi Gunung Gede yang memilki elevasi ketinggian sekitar 2.958 meter di atas permukaan laut. Gunung Gede selain sekarang terkenal di kalangan para pendaki, tercatat pula para ahli yang telah mendaki untuk berbagai keperluan dari berbagai disiplin ilmu. Pada tahun 1819, C.G.C. Reinwardt sebagai orang yang pertama yang mendaki Gunung Gede, kemudian disusul oleh F.W. Junghuhn (1839-1861), J.E. Teijsmann (1839), A.R. Wallace (1861), S.H. Koorders (1890), M. Treub (1891), W.M. Docters van Leeuwen (1911); dan C.G.G.J. van Steenis (1920-1952) telah membuat koleksi tumbuhan sebagai dasar penyusunan buku The Mountain Flora of Java yang diterbitkan tahun 1972.
***
Perjalanan dari puncak Gede, kami
pun bergerak turun ke arah alun-alun suryakencana untuk bermalam. Alun-alun
suryakencana merupakan sebuah dataran yang sangat luas yang diapit oleh Gunung
Gede dan Gunung Gumuruh, dengan luasnya mencapai sekitar 50 hektar yang sebagiannya
ditutupi hamparan bunga edelweiss. Menukil dari laman Wikipedia di alun-alun
suryakencana terdapat sebuah legenda yang beredar di masyarakat setempat yaitu
tentang keberadaan Eyang Suryakancana. Suryakancana adalah Putra dari Dalem
Cikundul atau Rd. Aria Wira Tanu I, pendiri Cianjur dan bupati Pertama Cianjur,
hasil dari pernikahannya dengan Putri Jin. Masyarakat percaya bahwa Eyang
Suryakencana yang notabene nya adalah bangsa jin, masih bermukin di sekitar
gunung Gede, dan menjadi penguasa bangsa jin di gunung tersebut. Pada saat
tertentu, banyak orang khususnya penganut Agama Sunda Wiwitan masuk ke goa-goa
sekitar Gunung Gede untuk semedhi / bertapa maupun melakukan upacara religius.
Malam kembali datang, hujan pun
mulai reda, dan semua anggota rombongan sudah berkumpul semua. Tenda telah
terpasang, purnama sempurna menaungi para anak manusia yang saling mencari apa
yang di cari di Gunung. Dingin mulai merasuk sendi, tapi purnama masih setia
menemani hingga dini hari.(taufik/satubumikita)***
***
Satubumikita, pendakian Gunung
Gede, 25 - 26 mei 2013:
- Puspita Supriati
- Triandini
- Yuni Permadani
- Lia Selfia
- Ade Siti Nuraenun
- ‘opa’ Yayan Suryana
- Moch. Khaerul Anwar
- Ramadhan ananditia Putra
- Rahmat Abdullah Zaelani
- Gabriel Yosep Cakuyo
- Gustaf Ridwan Munandar
- Taufik Hidayat
Terima kasih, salam satubumikita,
tetap lestari alam kita.
Tags : jurnal gunung gede, catper gunung gede, rute gunung gede, bandung - gunung gede, hiking, adventure
Tags : jurnal gunung gede, catper gunung gede, rute gunung gede, bandung - gunung gede, hiking, adventure
suryakencana telah memberikan kesan yang begitu berbeda, buat saya khususnya, menikmati purnama disana, juga kabut yang memesona. salam satu bumi :D
BalasHapussetiap tempat memiliki kesan yg berbeda2 pd setiap individu..
Hapussalam juga :)
waduh lw ada acara lagi hubungi saya
BalasHapus081212620707
mangstabbb :)
BalasHapuswoow, seru sekali kayanya mendaki sama akang akang yang ini...
BalasHapus