Kamis, 14 November 2013

Jurnal satubumikita #20 : Sejenak bersama Galunggung & Kampung Naga




Di kejauhan, tinggi menjulang sebuah Gunung yang pernah meletus dahsyat. Letusannya di masa  Presiden Soeharto tercatat berlangsung selam 9 bulan, dalam periode 5 Mei 1982 sampai 8 Januari 1983. Ya, Gunung tersebut adalah Gunung Galunggung, yang berada di kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Menurut supir angkot yang kami tumpangi, di periode meletusnya Galunggung tersebut, para warga di sekitar Gunung hanya bisa menikmati terangnya mentari  sampai sekitar jam 10 pagi, dan selebihnya dari waktu tersebut adalah waktu yang gelap. Tak terbayangkan keseharian kita dalam keadan seperti itu, tapi itulah kuasa Tuhan.Seperti kata Kuncen Kampung Naga, bencana meletusnya Galunggung sekitar 29 tahun lalu merupakan sebuah pelajaran bagi manusia. Seperti letusan Gunung lainnya yang selain menyisakan tangis, seolah Galunggungpun  kemudian menjadi sumber penghidupan bagi manusia sekelilingnya. Pasir-pasir bekas muntahan dari perut bumi yang melimpah menjadi sebuah keniscayaan bahwa alam memang memberikan sebuah  keseimbangan dari sebuah bencana alami (tanpa campur tangan manusia).

***

Langit cerah di sabtu siang itu, mungkin tak akan kami nikmati pada sabtu di tanggal yang sama 29 tahun  lalu. Dan mungkin sebagian besar dari kami pun banyak yang belum terlahir ke dunia saat dentuman, pijaran api serta kilatan halilintar mengamuk di Galunggung. Ya, kami, sebuah komunitas penggiat kegiatan alam bebas amatir yang mencoba melihat dari dekat Gunung yang sekarang dinyatakan aman. Bertolak dari terminal Cicaheum, bis yang kami tumpangi melaju perlahan terhadang padatnya jalanan ujung timur kota Bandung. Perjalanan dalam bis harus kami lalui selama kurang lebih 3 jam untuk menuju terminal bis Indihiang di Tasikmalaya. Terminal bis yang bisa dikatakan besar dan megah untuk ukuran sebuah kota kecil Jawa Barat. Bandung sebagai ibu kota provinsi pun belum memiliki sebuah Terminal Induk yang representatif, ya kita tunggu saja gebrakan dari walikota Bandung yang baru, Mang Ridwan Kamil sang arsitek.


Dari terminal bis Indihiang, Galunggung yang akan kami tuju sudah terlihat angkuh menjulang. Perjalanan kembali berlanjut dan masih menaiki kendaraan umum, kami menyewa dua angkutan kota menuju pintu gerbang kawasan Gunung Galunggung, yang beberapa tahun seusai letusan tahun 1982-1983 dibuka menjadi kawasan wisata yang menjadi primadona Kabupaten Tasikmalaya (untuk menghindari kerancuan, nama Tasikmalaya terbagi menjadi 2 daerah tingkat tinggi yaitu Kabupaten dan Kotamadya).Sekitar 50 menit dalam angkot yang melaju, sampailah kami di gerbang Kawasan Wisata Galunggung yang terdiri dari 2 objek wisata utama yaitu kawah danau Galunggung dan pemandian air panas (Cipanas).


Selain menurut penuturan supir angkot yang di awal paragraf telah disebut bahwa suasana saat letusan wilayah sekitar Galunggung gelap setelah jam 10 pagi. Juga dari ibu penjaga warung, yang mengisahkan bahwa dulu lapak yang ditempatinya sekarang adalah sebuah sekolah dasar yang mungkin bisa jadi bangunannya terdampak langsung letusan. Lanjut menurut penuturan si ibu warung yang saat letusan sudah menikah, dikisahkan bahwa di saat keadaan genting  bencana tersebut masih saja ada orang yang tidak bertanggung jawab menjarah barang milik warga yang ditinggal mengungsi, bahkan kursi dan meja sekolah pun konon raib di gondol maling.


Perjalanan kembali berlanjut seusai sholat dzuhur dan makan siang. Saatnya kaki kami mulai bergerak melangkah. Selain jalan aspal, ada jalur alternatif menujuobjek utama dekat danau kawah, yaitu melalui jalan setapak yang searah menuju Cipanas. Di awal jalur tersebut kami harus melalui kawasan Cipanas yang saat itu cukup ramai oleh penggunjung.Ada aliran sungai kecil yang jernih mengalir. Jalur kemudian menanjak ke sebelah kanan Cipanas dan masuk ke rimbunan dan mulai memasuki hutan.Kami ber-19 berjalan beriringan di jalur setapak yang banyak semutnya tersebut, entahlah kenapa banyak sekali semut di jalur yang kami lalui.Semakin memasuki hutan, suara raungan kendaraan mulai tak terdengar. Di kejauhan pelupuk mata, anak tangga ikon Galunggung terlihat kecil layaknya seekor cacing.  Satu jam setengah yang kami habiskan di jalur setapak akhirnya berhulu di jalan aspal dan itu  tandanya sebentar lagi kami akan sampai di pelataran parkir (anak tangga).


Tak berapa lama kami berjalan, kembali kami melintas jalur berpasir, dan sampailah kami di pelataran parkir yang di hadapannya mengular ke atas anak tangga. Ya, anak tangga tersebut seolah menjadi salah satu ikon dari Galunggung selain wisata alam danau kawahnya. Anak tangga yang menurut papan informasi berjumlah 620 tersebut merupakan penghubung menuju puncak danau kawah (bukan Puncak Gunung Galunggung) sebagai titik pandang yang menarik untuk menikmati panorama danau kawah dari atas.

Peta Gunung Galunggung tempo Dulu, foto : http://www.geheugenvannederland.nl/?/nl/items/NAT01:NNM001000871-081


Gunung Galunggung sendiri menukil dari laman Wikipedia merupakan Gunung berapi aktif yang memiliki ketinggian 2.167 meter di atas permukaan laut. Menurut Volcanological Survey of Indonesia (VSI), kawasan Gunung Galunggung meliputi areal seluas ± 275 km2 dengan diameter sekitar 27 km (barat laut-tenggara) dan 13 km (timur laut-barat daya). Sebelah barat Gunung Galunggung berbatasan dengan Gunung Karasak, sebelah utara dengan Gunung Talagabodas Garut, sebelah timur dengan Gunung Sawal Ciamis dan di sebelah selatan berbatasan dengan batuan tersier Pegunungan Selatan. Gunung Galunggung dibagi dalam tiga satuan morfologi, yaitu: Kerucut Gunung Api,  Kaldera, dan Perbukitan Sepuluh Ribu. Karakter letusan Gunung Galunggung umumnya berupa erupsi leleran lava sampai dengan letusan yang sangat dahsyat yang berlangsung secara singkat atau lama.


Selain itu menukil dari beberapa sumber.Wilayah Galunggungpada zaman dulu merupakan salah satu pusat spiritual kerajaan Sunda pra Pajajaran, dengan tokoh pimpinannya Batari Hyang sekitar abad ke-XII.Saat pengaruh Islam menguat, pusat tersebut pindah ke daerah Pamijahan. Sementara naskah Sunda kuno lain adalah Amanat Galunggung yang merupakan kumpulan naskah yang ditemukan di kabuyutan Ciburuy, Garut Selatan berisi petuah–petuah yang disampaikan oleh Rakyan Darmasiksa, penguasa Galunggung pada masa itu kepada anaknya.




Sebelum melahap jalur anak tangga, sejenak kami pun menghela nafas kembali di warung-warung yang banyak tersedia di pelataran parkir. Siangpun mulai berganti sore, dan kami cukup beruntung sabtu di awal November ini cerah, tak seperti hari-hari yang lalu, hujan menggila. Beriringan kembali kami mulai melangkahi anak tangga.Pemandangan dari atas memang cukup bagus, panorama Tasik terlihat cukup jelas. Dan sampailah kami di titik pandang danau kawah, permukaan yang kami pijak adalah pasir berwarna kehitaman sisa letusan dahulu.Di bawah, terlihat kawah Galunggung yang sudah menjadi danau dengan warna airnya yang hijau. Danau tersebut konon memiliki bagian dengan kedalaman sekitar 200 meter, yang menjadikannya cukup berbahaya untuk orang yang berenang di sana.  Di tengah danau terdapat 2 bukit kecil yang menurut Wikipedia merupakan kubah lava, dan oleh warga dinamai Gunung Jadi, bukit kecil tersebut timbul setelah terjadi letusan tahun 1918. Gunung Galunggung menurut penuturan akang salah satu pemilik warung, tercatat sempat pernah aktif di tahun 2012 yang ditandai dengan kandungan sulfur yang tinggi. Untuk saat ini mungkin Galunggung sedang tertidur lelap sesudah 4 kali meletus besar dalam sejarah manusia (yang tercatat tahun 1822, 1894, 1918 dan 1982-1983 ).


Dinding cadas yang menjulang dan mengelilingi kawah membuat kami sangat kecil sebagai manusia yang angkuh dan sombong. Perjalanan kembali berlanjut menuju danau kawah menuruni jalan setapak.Sang surya mulai kembali ke peraduannya, halimun mulai menyeruak menghias guratan lukisan Tuhan. Di sisi danau kawah, tenda kami dirikan, malam pun cepat datang, dan kebersamaan mulai menghangat bersama api unggun.  Di atas sana bintang gemintang menebar di luasnya langit, seolah menemani kami yang sejenak menyepi dari bisingnya hiruk pikuk kota. 



***


Hari bergulir, minggu pagi mulai menyambut. Dan perjalanan belum usai.Sehabis berkemas dan makan pagi perjalanan naik dan turun kembali dimulai. Beratus anak tangga tak kami lalui, kami mencoba memilih jalan setapak menuju pelataran parkir. Dan kaki kembali harus bekerja melangkah, dan entah arwah siapa yang merasuki tubuh kami, kami pun berlari seperti mengikuti lomba marathon Galunggung  2.5 km.


Masih di kabupaten Tasikmalaya, sebelum adzan dzuhur berkumandang kembali kami berangkat menuju titik terakhir di perjalanan satubumikita. Bertolak belasan kilometer dari gerbang wisata Galunggung menggunakan angkutan kota, sampailah kami di pelataran masuk sebuah Kampung budaya yang berada di jalan penghubung Garut – Tasikmalaya. Kampung tersebut yaitu Kampung Naga yang masih memegang adat istiadat sunda dari leluhurnya. Sebelum benar-benar memasuki kampung, rombongan satubumikita mengisi buku tamu sebagai daftar kunjungan resmi dan akan didampingi oleh seorang pemandu, kang Yudi namanya.


Penamaan “Naga”, pada Kampung tersebut, menurut kang Yudi berasal dari perkataan Kampung “Dina Gawir”atau “Na Gawir” yang dalam bahasa sunda berarti Kampung yang berada di Jurang. Bisa jadi untuk memudahkan penamaan kampung tersebut maka dipersingkat dari “Na Gawir” menjadi “Naga” saja. Semua penduduk Kampung Naga beraga islam, dan mungkin perlu diklarifikasi dari artikel di Wikipedia yang menyebutkan bahwa warga kampung Naga melaksanakan sholat hanya di hari Jum’at saja. Satubumikita mencoba mengkonfirmasi ke beberapa warga Kampung dan mereka mengatakan bahwa hal tersebut tidak benar, mereka sholat setiap hari. Islam mereka masih sama dengan Islam kebanyakan di Indonesia dan mereka  tidak memiliki kecenderungan terhadap golongan atau aliran tertentu.

Bersama kang Yudi


Kampung Naga  setiap akhir pekan seperti saat kami berkunjung, banyak dikunjungi baik oleh para pelajar atau mahasiswa serta orang yang senang akan budaya, peneliti ataupun hanya para wisatawan. Kampung ini selain berada dina gawir, juga berada di sisi sungai Ciwulan yang terus mengalir deras walau di musim kemarau sekalipun. Hal tersebut konon karena adanya hutan larangan yang harus tetap dijaga dan masih lestari hingga saat ini.


Bisa jadi hal yang cukup menarik dari komunitas adat kampung Naga adalah dari penampakan fisik tempat tinggal mereka serta adat istiadat yang masih dijaga.Sebut saja model rumah panggung yang harus seragam, dengan atap injuk, lantai rumah menggunakan kayu/papan, dan tidak boleh menggunakan tembok serta rumah diharuskan menghadap ke arah selatan dan utara. Rumah di Kampung Naga haruslah saling berhadap-hadapan dengan tetangga atau saling membelakangi. Filosofi tersebut mungkin agar para warga saling peduli dan tidak individualisme. Selain itu jumlah bangunan di Kampung Naga dari dulu  hingga sekarang berjumlah 113, 108 untuk rumah tinggal dan sisanya bangunan fungsional seperti masjid, bale pertemuan, bumi ageung.


Mayoritas warga kampung naga merupakan petani yang memiliki sawah sendiri yang hasilnya untuk dijual maupun untuk dikonsumsi sendiri. Selain itu banyak pula yang berjualan cinderamata di rumah mereka.Untuk adat istiadat, beberapa upacara adat masih dilangsungkan hingga saat ini yang dalam satu tahun berlangsung kurang lebih selama 6 kali,  seperti hajat sasih. Upacara adat hanya dilakukan oleh kaum adam saja, sedang kaum hawa berada di rumah untuk memasak/mempersiapkan hidangan. Untuk hukum adat, cukup menarik, karena di Kampung Naga tak banyak aturan  yang dibuat tapi dengan cukup larangan satu kata saja atau dalam istilah sunda, “Pamali”, maka para warga cukup mematuhi hukum adat yang berlaku, seperti tidak memasuki Bumi Ageung, merambah hutan larangan dll. 


 
Atap rumah di Kampung Naga

Modernitas yang masif memang tak dapat dibendung hadir pula di kampung ini, televisi bukan hal yang baru bagi mereka. Seperti saat survey beberapa hari yang sebelumnya, tim survey satubumikita menemui fakta bahwa televisi tak dilarang dimiliki di sana tapi sebatas hitam putih dan energi untuk menyalakannya menggunakan aki. Lalu ponsel pun menurut Kang Yudi, bebas masuk dan dipakai di sana. Ya, listrik bisa jadi tabu untuk di ‘nikmati’, menurut Pak Ayo, salah satu warga. Tidak ada larangan khusus untuk tidak menggunakan listrik tapi karena rumah mereka yang terbuat dari bahan yang mudah terbakar, mereka berinisiatif kolektif untuk tidak memasang listrik, karena takut rumahnya terbakar gara-gara korsleting listrik yang bisa saja menghanguskan seluruh kampung.


Rombongan satubumikita sebenarnya saat rencana awal kegiatan, akan menginap di Kampung Naga, tapi karena aturan dari pihak terkait yang tidak memperbolehkan rombongan dari masyarakat umum untuk menginap, kecuali para pelajar dan mahasiswa yang membawa surat dari lembaga. Jadi, di hari minggu sore itu, kami hanya berkeliling Kampung Naga didampingi oleh Kang Yudi dan diperkenankan pula untuk berdialog dengan ketua lembaga adat, yaitu Kuncen.


Dari hasil dialog/tanya jawa dengan kuncen yang diadakan di bale pertemuan, ada fakta yang menarik. Bila para pengunjung bertanya tentang sejarah dan kapan Kampung Naga berdiri, maka kebanyakan warga bahkan kuncen pun sulit menjawab pertanyaan tersebut karena menurut kuncen, sumber peninggalan sejarah mereka telah terbakar/dibakar sewaktu DI TII pimpinan Kartosoewirjo membakar Kampung Naga sekitar tahun 1956-an karena menolak untuk bergabung dengan DI TII dan memilih ikut ke Republik Indonesia. Bisa jadi pula ada generasi atau orang yang mengetahui sejarah Kampung Naga di saat itu ikut menjadi korban. Dan efeknya saat ini tidak ada yang mengetahui pasti dari sejarah Kampung Naga.

Bersama Punduh yang kebetulan sedang ada waktu senggang

Pa Kuncen, Ade Suherlin yang sedang membuka dialog


Selain berdialog dengan Kuncen, kami pun beruntung dapat bertemu dan sedikit berbincang dengan lembaga adat lain yaitu Punduh yang humoris. Selain Kuncen dan Punduh, di Kampung Naga terdapat pula satu posisi lembaga adat yaitu Lebe. Masing-masing posisi memiliki peran dan fungsinya sendiri di masyarakat adat.


Karena waktu kunjungan ke Kampung Naga yang singkat, kami tak dapat menyelami lebih dalam lagi budaya, filosofi dan adat istiadat di sana.Tak lama rinai hujan mulai membasahi bumi, menutup perjalanan kami di awal November.(taufik/satubumikita)***


Menengok sisa kedahsayatan Galunggung &mengintip budaya di Kampung Naga.



 2 – 3 November 2013 :

1.       Zaenal Mutaqin
2.       Deni Hadiansah
3.       Gustaf Ridwan Munandar
4.       Johanes
5.       Natalia
6.       Puspita Supriati
7.       Mooth
8.       Dana
9.       Taufik Hidayat
10.   Siti Robiah
11.   Ferdinand
12.   Sarie N.F
13.   Novriyanti Putri Fisya
14.   Indra Budi
15.   Windu Y.P
16.   Dwina Lubna
17.   Riza Maulana Ahmad
18.   Ulen Bandung
19.   Deni

Terima Kasih, salam satubumikita.

2 komentar :

Silahkan berkomentar, menyanggah, bertanya ataupun ingin berkorespondensi.



Terima kasih

ANDA PENGUNJUNG KE-

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...